Oleh: Enang Cuhendi–Pengawas SMP Disdik kab. Garut & Fasilitator Pembelajaran Mendalam
“I’m not there yet, but I’m closer than I was yesterday.”
— Carol S. Dweck
Pendahuluan: Ketika Kata “Belum” Mengubah Segalanya
Pernahkah kita mendengar seorang murid berkata dengan nada putus asa, “Saya tidak bisa matematika” atau “Saya memang tidak pintar sejarah”? Kalimat-kalimat seperti itu tampak sepele, tetapi sesungguhnya mencerminkan mindset tetap (fixed mindset) yang dapat menghambat potensi belajar.
Namun, bayangkan jika di akhir kalimat itu ditambahkan satu kata ajaib: “belum” (yet) — “Saya belum bisa matematika”. Perubahan kecil ini bukan sekadar permainan kata, melainkan sebuah transformasi cara berpikir yang menumbuhkan harapan, ketekunan, dan semangat untuk terus belajar. Inilah yang dikenal dengan konsep The Power of Yet, sebuah filosofi sederhana namun revolusioner yang diperkenalkan oleh psikolog pendidikan Carol S. Dweck (2006) dalam teori growth mindset.
Makna dan Hakikat The Power of Yet
The Power of Yet bermakna kekuatan untuk melihat setiap keterbatasan bukan sebagai kegagalan, tetapi sebagai proses menuju keberhasilan. Kata “yet” memberi sinyal kepada otak bahwa kemampuan seseorang masih dapat berkembang melalui usaha, waktu, dan strategi yang tepat.
Carol Dweck menjelaskan bahwa individu dengan growth mindset meyakini kecerdasan dan kemampuan dapat ditingkatkan melalui kerja keras dan belajar dari kesalahan (Dweck, 2006). “Yet” berfungsi sebagai jembatan antara ketidakmampuan saat ini dan kemungkinan di masa depan. Kata kecil ini mengubah perasaan “gagal” menjadi “sedang belajar”.
Dalam konteks pendidikan, the power of yet menegaskan bahwa setiap murid berproses, bukan berhenti. Guru pun tidak lagi melihat hasil akhir semata, tetapi menghargai proses dan strategi belajar yang ditempuh murid.
Pentingnya The Power of Yet untuk Guru dan Murid
Bagi murid, the power of yet menumbuhkan daya juang (resilience) dan ketangguhan belajar (grit). Murid tidak takut gagal karena memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Mereka berani mencoba lagi, bereksperimen, dan mencari cara baru untuk memahami sesuatu.
Bagi guru, konsep ini menjadi paradigma baru dalam menilai dan membimbing. Guru bukan sekadar pemberi nilai, tetapi fasilitator pertumbuhan. Guru yang menanamkan the power of yet akan lebih fokus pada umpan balik positif, memberikan penguatan terhadap proses belajar, bukan hanya hasil akhir.
Seperti yang dikatakan Albert Einstein,
“It’s not that I’m so smart, it’s just that I stay with problems longer.”
Kutipan ini menggambarkan semangat yet: kegigihan lebih penting daripada kepintaran bawaan.
Peran The Power of Yet dalam Pembelajaran Mendalam
Pembelajaran mendalam (deep learning) menuntut keterlibatan kognitif, afektif, dan metakognitif yang tinggi. Murid tidak hanya menghafal, tetapi memahami makna, mengaitkan pengetahuan, dan mampu menerapkannya dalam konteks baru.
The power of yet menjadi pondasi psikologis bagi pembelajaran mendalam karena:
- Menumbuhkan motivasi intrinsik – murid terdorong belajar karena ingin berkembang, bukan sekadar mendapat nilai.
- Mendorong eksplorasi dan refleksi – murid belajar dari kesalahan dan mengevaluasi strategi belajar.
- Membangun rasa aman belajar (safe learning environment) – murid tidak takut mencoba karena tahu bahwa belum bisa bukan berarti gagal.
Guru yang mengintegrasikan konsep ini sesungguhnya sedang membangun kultur pembelajaran yang menumbuhkan mental pantang menyerah dan rasa ingin tahu tinggi—dua elemen kunci dalam pembelajaran mendalam.
Cara Guru Menerapkan The Power of Yet dalam Pembelajaran
Implementasi the power of yet tidak harus rumit. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan guru antara lain:
- Gunakan bahasa positif yang membangun
Ubah kalimat seperti “Kamu salah” menjadi “Kamu belum menemukan jawabannya dengan benar, mari kita cari bersama.” Bahasa guru membentuk cara berpikir murid. - Rayakan proses, bukan hanya hasil
Beri apresiasi atas usaha, strategi, dan ketekunan murid. Misalnya, “Saya senang kamu terus mencoba meski sulit.” - Gunakan penilaian formatif yang mendorong perbaikan
Fokus pada umpan balik yang konstruktif dan memberi ruang refleksi. - Berikan contoh konkret dari kehidupan nyata
Ceritakan tokoh-tokoh sukses yang pernah gagal—Thomas Edison dengan ribuan percobaan atau Nadiem Makarim yang terus belajar dari kesalahan bisnis pertamanya. - Bangun budaya reflektif di kelas
Ajak murid menulis jurnal belajar dengan pertanyaan sederhana seperti, “Apa yang belum saya kuasai minggu ini?” dan “Langkah apa yang akan saya coba selanjutnya?”
Dengan demikian, kelas menjadi ruang yang penuh semangat tumbuh, bukan ruang yang menilai cepat atau lambatnya seseorang mencapai hasil.
Penutup: Sukses adalah Perjalanan, Bukan Tujuan Akhir
The power of yet mengajarkan bahwa sukses bukanlah garis finis, melainkan proses bertumbuh tanpa henti. Ketika murid dan guru sama-sama percaya pada kekuatan “belum”, maka sekolah menjadi tempat di mana setiap individu berani gagal, belajar dari kesalahan, dan terus berusaha menjadi versi terbaik dirinya.
Sebagaimana diungkapkan Carol Dweck dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success (2006):
“Becoming is better than being.”
Menjadi lebih baik hari demi hari adalah keberhasilan sejati dalam pendidikan. (*)



































