Hari Ibu dalam Perspektif Sejarah: Merawat Ingatan, Menjaga Masa Depan Memperingati Hari Ibu 2025

0
30

Oleh: Enang CuhendiPengawas Sekolah Disdik Kab. Garut

Setiap 22 Desember, bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu. Namun, di tengah arus seremoni dan simbolisasi, makna historis Hari Ibu kerap memudar. Padahal, Hari Ibu di Indonesia lahir bukan dari tradisi perayaan domestik, melainkan dari kesadaran politik, sosial, dan kultural perempuan Indonesia untuk memperjuangkan martabat, pendidikan, dan masa depan bangsa.

Menyambut Hari Ibu 2025, dunia pendidikan perlu kembali menempatkan Hari Ibu dalam perspektif sejarah—bukan sekadar sebagai perayaan kasih sayang personal, melainkan sebagai momentum refleksi peradaban.

Lahir dari Gerakan Perempuan dan Kesadaran Kebangsaan

Secara historis, Hari Ibu di Indonesia berakar pada Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 22–25 Desember 1928. Momentum ini hadir dalam atmosfer kebangkitan nasional, tidak lama setelah Sumpah Pemuda, ketika kesadaran kebangsaan sedang tumbuh kuat di berbagai lapisan masyarakat.

Kongres tersebut mempertemukan beragam organisasi perempuan dari latar belakang pendidikan, sosial, dan keagamaan. Isu-isu yang dibahas mencerminkan kegelisahan sekaligus harapan perempuan Indonesia, antara lain pentingnya pendidikan bagi perempuan, perlindungan dalam perkawinan, peran perempuan dalam perjuangan nasional, serta tanggung jawab ibu dalam membentuk generasi masa depan.

Tanggal 22 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan ini menegaskan bahwa Hari Ibu merupakan simbol perjuangan dan kesadaran perempuan sebagai subjek sejarah, bukan sekadar pengakuan atas peran domestik.

Dengan demikian, Hari Ibu sejatinya adalah peringatan atas kontribusi perempuan—khususnya ibu—dalam membangun fondasi bangsa melalui pendidikan, nilai, dan keteladanan.

Makna Hari Ibu: Ibu sebagai Pendidik Peradaban

Dalam perspektif sejarah pendidikan, ibu memiliki posisi strategis sebagai pendidik pertama dan utama. Rumah adalah sekolah pertama, dan ibu adalah guru pertama bagi setiap manusia. Ki Hadjar Dewantara menegaskan: “Keluarga adalah alam pendidikan yang pertama dan utama.”

Pernyataan KHD tersebut menempatkan ibu sebagai aktor kunci dalam pembentukan karakter, moral, dan kesadaran sosial anak. Ibu tidak hanya melahirkan kehidupan biologis, tetapi juga menanamkan nilai kejujuran, empati, disiplin, dan kemanusiaan—nilai-nilai yang menjadi dasar peradaban.

RA Kartini bahkan menautkan secara langsung antara perempuan, pendidikan, dan masa depan bangsa: “Perempuan adalah pendidik pertama manusia.”

Makna Hari Ibu, dengan demikian, bukan sekadar penghormatan emosional, melainkan pengakuan historis dan kultural atas peran ibu dalam menjaga keberlanjutan nilai dan identitas bangsa.

Relevansi Hari Ibu bagi Pendidikan Masa Kini

Dalam konteks pendidikan kontemporer yang menekankan pembentukan karakter, literasi, dan kesejahteraan peserta didik, makna Hari Ibu justru semakin relevan.

Pertama, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peran keluarga. Sekolah dan keluarga adalah dua ekosistem yang saling melengkapi. Guru mendidik di ruang kelas, sementara ibu dan keluarga membentuk kepribadian anak dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa sinergi ini, pendidikan akan kehilangan dimensi kemanusiaannya.

Kedua, Hari Ibu relevan dengan penguatan peran perempuan dalam dunia pendidikan. Banyak guru, kepala sekolah, dan pengawas adalah perempuan yang menjalankan peran ganda sebagai pendidik profesional dan ibu di rumah. Hari Ibu menjadi ruang reflektif untuk mengapresiasi dedikasi tersebut, bukan hanya secara simbolik, tetapi juga melalui kebijakan dan budaya kerja yang adil dan berperspektif keluarga.

Ketiga, di tengah tantangan era digital—krisis perhatian, banjir informasi, dan tekanan psikososial—ibu berperan sebagai penjaga nilai. Kepekaan ibu terhadap perkembangan emosi dan sosial anak menjadi benteng awal dalam menjaga kesehatan mental dan etika generasi muda.

Hari Ibu dan Masa Depan Bangsa

Jika ditarik lebih jauh, Hari Ibu memiliki makna strategis bagi masa depan peradaban. Bangsa yang menghormati ibu adalah bangsa yang menghargai pendidikan, kehidupan, dan nilai kemanusiaan. Peringatan Hari Ibu seharusnya mendorong lahirnya praktik pendidikan yang ramah keluarga, mendukung peran pengasuhan, serta memberdayakan perempuan secara bermartabat.

Dalam perspektif sejarah panjang, ibu adalah simpul yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dari rahim ibu lahir generasi, dan dari didikan ibu tumbuh karakter bangsa.

Sebuah ungkapan yang sering dikutip menyatakan: “Mendidik seorang ibu berarti mendidik satu generasi.” Ungkapan ini bukan retorika, melainkan pelajaran sejarah yang terus relevan.

Penutup
Hari Ibu bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan pengingat kolektif tentang peran strategis ibu dalam sejarah, pendidikan, dan pembangunan bangsa. Menyambut Hari Ibu 2025, dunia pendidikan perlu menghidupkan kembali makna historis Hari Ibu sebagai ruang refleksi, apresiasi, dan komitmen bersama

Merawat ingatan tentang Hari Ibu berarti menjaga masa depan. Sebab, dari nilai-nilai yang ditanamkan seorang ibu, arah peradaban bangsa ditentukan. Selamat Hari Ibu tahun 2025!. (*)