Bullying Masih Menggelinding

0
21

Oleh: Inar Suminarsih, S.Pd., M.Pd.(Pengawas Sekolah Disdik Kab. Garut)

 

Pendahuluan

Bullying bukan lagi sekadar isu sesaat. Ia adalah luka sosial yang terus menggelinding — menabrak ruang-ruang sekolah, media sosial, hingga lingkungan keluarga.
Meski berbagai kampanye anti-bullying telah digaungkan, kasus demi kasus tetap muncul, seakan tak pernah menemukan titik akhir< bakhan akhir-akhir ini sepertinya marak kembali kasus bullying dan tak tanggung-tanggung kejadiannya diekspos di medsos.

Pertanyaannya, mengapa bullying masih terus terjadi?
Apakah karena kurangnya pengawasan, lemahnya ketegasan, atau justru hilangnya empati di antara kita?

 

Bullying: Luka yang Tak Terlihat, Tapi Terasa

Bullying tidak selalu hadir dalam bentuk pukulan atau ejekan keras.
Kadang ia datang dalam bentuk senyum sinis, pengucilan, cibiran di media sosial, atau kata-kata yang merendahkan.
Dampaknya bisa jauh lebih dalam dari luka fisik — menggores harga diri, memudarkan semangat hidup, bahkan merusak masa depan.

Bagi korban, setiap hari terasa seperti medan perang.
Ia mungkin masih datang ke sekolah, masih tersenyum, tapi di balik itu tersimpan ketakutan, kesepian, dan rasa tidak berharga, bahkan menyimpan rasa dendam yang suatu saat akan meledak hingga tak sedikit menelan korban.

“Bullying tidak sekadar membuat seseorang menangis, tetapi bisa membuat seseorang berhenti percaya pada dirinya sendiri.”

 

Mengapa Bullying Masih Menggelinding?

  1. Budaya diam dan permisif.
    Banyak orang tahu, tetapi memilih tidak peduli. Diam dianggap aman, padahal justru memperkuat pelaku.
  2. Pemahaman yang dangkal.
    Bullying sering disamarkan sebagai candaan, padahal yang tertawa hanyalah pelaku, bukan korban.
  3. Minimnya empati.
    Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang kompetitif, tetapi tidak selalu diajarkan cara berbelas kasih.
  4. Ketidakhadiran keteladanan.
    Saat orang dewasa — guru, orang tua, pemimpin — saling menghina atau merendahkan, anak belajar bahwa kekerasan verbal adalah hal biasa.

 

Sekolah: Tempat Aman yang Harus Diciptakan, Bukan Diasumsikan

Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua yang aman, bukan tempat di mana anak harus belajar bertahan dari ejekan dan rasa takut.
Namun, kenyataannya, banyak peserta didik masih belum berani berbicara tentang apa yang mereka alami.

Tugas pendidik bukan hanya mengajar pengetahuan, tetapi menumbuhkan rasa aman dan menghargai sesama.
Pendidikan karakter dan empati harus menjadi napas dari setiap proses pembelajaran.

“Anak-anak tidak hanya belajar dari apa yang kita ajarkan, tetapi dari cara kita memperlakukan mereka dan orang lain.”

 

Peran Guru dan Orang Tua: Menjadi Teladan dan Pelindung

  • Guru memiliki posisi strategis untuk mendeteksi tanda-tanda bullying — perubahan sikap, prestasi yang menurun, atau menarik diri dari pergaulan.
    Guru yang peka tidak akan menunggu laporan, tetapi mendekati dengan empati dan kasih.
  • Orang tua perlu hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional.
    Mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi sering kali menjadi obat pertama yang paling mujarab.
  • Kolaborasi sekolah dan keluarga adalah kunci.
    Ketika keduanya bersatu, anak akan merasa memiliki pelindung yang kuat dan ruang aman untuk tumbuh.

 

Menanam Empati, Menuai Harmoni

Mencegah bullying bukan sekadar memasang poster “Stop Bullying”, tetapi menanamkan empati dalam budaya sekolah.
Empati adalah kemampuan melihat dengan hati — merasakan perasaan orang lain, memahami luka tanpa harus mengalaminya.

Kegiatan sederhana bisa menumbuhkan empati:

  • refleksi harian,
  • pembelajaran berbasis kolaborasi,
  • diskusi nilai-nilai kemanusiaan,
  • dan pembiasaan menyapa serta menghargai perbedaan.

Sekolah yang berempati adalah sekolah yang mendidik anak-anak bukan hanya menjadi cerdas, tetapi juga manusia yang lembut hatinya.

 

Penutup: Saatnya Berhenti Membiarkan

Bullying masih menggelinding karena kita membiarkannya terus bergulir.
Ia berhenti hanya jika kita berhenti menertawakan, berhenti menutup mata, dan mulai berdiri membela yang lemah.

Mari kita ubah ruang-ruang pendidikan menjadi tempat yang hangat, aman, dan manusiawi.
Sebab setiap anak berhak tumbuh tanpa rasa takut — berhak menjadi dirinya sendiri tanpa harus terluka.

“Ketika satu anak disakiti, seluruh nurani kita seharusnya terguncang.”

Sudah saatnya kita berhenti diam — dan mulai benar-benar peduli.