Perbedaan Taxonomi Bloom dan Taxonomi Solo : Mana Yang Lebih Tepat/ Mudah Diterapkan untuk Sekolah Tingkat SMP di Daerah

0
44

Oleh: Koni Kusnadi, S.Pd., M.M.Pd. (Pengawas Sekolah Disdik Kab. Garut)

 

Abstrak:

Artikel ini membahas perbedaan antara dua model taksonomi yang sering digunakan dalam pendidikan, yaitu Bloom dan Taxonomi SOLO, serta aplikasi praktisnya di sekolah tingkat SMP, khususnya di daerah terpencil. Taxonomi Bloom, yang mengklasifikasikan tujuan pembelajaran berdasarkan tingkat berpikir siswa, mencakup enam tingkatan mulai dari pengetahuan dasar hingga penciptaan. Sementara itu, Taxonomi SOLO lebih berfokus pada kedalaman pemahaman siswa terhadap materi, dengan lima tingkatan yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisir dan menghubungkan informasi. Artikel ini membandingkan kedua taksonomi berdasarkan struktur, fokus, dan kemudahan penerapannya dalam konteks pendidikan di daerah yang memiliki keterbatasan akses teknologi dan sumber daya. Ditemukan bahwa meskipun kedua taksonomi memiliki kelebihan masing-masing, Taxonomi Bloom lebih mudah diterapkan di sekolah tingkat SMP di daerah terpencil karena struktur yang sederhana, fleksibilitas dalam penilaian, dan kemudahan dalam merancang pembelajaran yang terstruktur. Artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi pendidik dalam memilih model taksonomi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran di sekolah-sekolah yang berada di daerah dengan tantangan infrastruktur.

Kata kunci: Taxonomi Bloom, Taxonomi SOLO, pembelajaran, sekolah SMP, daerah terpencil, pendidikan.

 

Pendahuluan

Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan suatu negara. Di Indonesia, akses pendidikan yang merata dan berkualitas masih menjadi tantangan, terutama di daerah-daerah terpencil yang sering kali mengalami keterbatasan sumber daya, baik dari segi infrastruktur maupun teknologi. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang tepat dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif di berbagai tingkat sekolah, termasuk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Salah satu aspek penting dalam pendidikan adalah penentuan tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur, yang bisa membantu guru untuk memfasilitasi perkembangan kognitif siswa.

Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa model taksonomi digunakan untuk merancang dan mengevaluasi pembelajaran, salah satunya adalah Taxonomy of Bloom yang telah lama dikenal di dunia pendidikan. Taksonomi ini mengklasifikasikan tujuan pembelajaran dalam enam tingkatan, dari yang paling dasar hingga yang lebih kompleks. Meskipun populer dan banyak digunakan, taksonomi Bloom sering kali dianggap terlalu kaku atau tidak sepenuhnya menggambarkan bagaimana siswa membangun pemahaman mereka secara menyeluruh terhadap materi yang dipelajari.

Sebagai alternatif, Taxonomy of the Structure of the Observed Learning Outcome (SOLO) muncul sebagai pendekatan yang lebih fokus pada kedalaman pemahaman dan hubungan antara konsep-konsep yang dipelajari. SOLO menggambarkan hasil belajar siswa berdasarkan struktur pemahaman yang berkembang, dari pemahaman yang sangat sederhana hingga pemahaman yang lebih kompleks dan terintegrasi. Konsep SOLO lebih menekankan pada cara siswa mengorganisasi dan menghubungkan informasi yang mereka pelajari, yang dianggap lebih mencerminkan perkembangan pemahaman yang lebih holistik.

Namun, meskipun kedua model ini menawarkan pendekatan yang berbeda, pertanyaannya adalah mana di antara keduanya yang lebih mudah diterapkan di sekolah-sekolah tingkat SMP, terutama yang berada di daerah terpencil dengan keterbatasan akses terhadap teknologi dan fasilitas pendidikan? Mengingat berbagai tantangan yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah tersebut, baik dari sisi keterbatasan infrastruktur maupun rendahnya akses terhadap pelatihan dan sumber daya pendidikan, penting untuk mengevaluasi kelebihan dan kekurangan masing-masing taksonomi ini.

Bloom’s Taxonomy, dengan struktur yang jelas dan terdefinisi dengan baik, sering dianggap lebih mudah diterapkan karena menyediakan kerangka kerja yang sistematis dalam merancang tujuan pembelajaran dan penilaian. Sebaliknya, SOLO, yang lebih berfokus pada kedalaman pemahaman, mungkin memerlukan pelatihan lebih lanjut dan penerapan yang lebih kompleks, yang bisa menjadi tantangan di daerah dengan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perbedaan antara taksonomi Bloom dan SOLO serta mengevaluasi mana yang lebih mudah diterapkan di sekolah-sekolah tingkat SMP di daerah terpencil.

Melalui artikel ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kedua model taksonomi tersebut dan memberikan rekomendasi yang relevan untuk para pendidik di daerah terpencil, agar mereka dapat memilih model yang paling sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa di lingkungan mereka. Dengan penerapan yang tepat, taksonomi yang dipilih tidak hanya akan meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga membantu mengoptimalkan potensi siswa dalam mencapai hasil belajar yang maksimal meskipun dengan keterbatasan yang ada.

Pembahasan

Pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah-daerah terpencil, menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, keterbatasan akses teknologi, dan kekurangan sumber daya pengajaran yang memadai. Oleh karena itu, para pendidik perlu merancang pendekatan yang efektif dalam mengelola proses belajar mengajar, agar dapat memenuhi tujuan pembelajaran dengan cara yang optimal. Dalam hal ini, penting bagi guru untuk memiliki kerangka atau model yang jelas dalam menyusun tujuan dan evaluasi pembelajaran. Dua model taksonomi yang sering digunakan adalah Taxonomy of Bloom dan Taxonomy of the Structure of the Observed Learning Outcome (SOLO). Meskipun keduanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Artikel ini akan membahas perbedaan mendasar antara kedua taksonomi tersebut dan bagaimana penerapannya di sekolah tingkat SMP di daerah, dengan mempertimbangkan kendala yang ada di daerah terpencil.

Taxonomy of Bloom: Struktur dan Fokus

Bloom’s Taxonomy pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956 dan sejak itu menjadi salah satu model yang paling dikenal dan banyak digunakan di dunia pendidikan. Model ini mengklasifikasikan tujuan pembelajaran ke dalam enam tingkatan, mulai dari yang paling dasar hingga yang lebih kompleks. Keenam tingkat tersebut adalah:

  1. Pengetahuan (Remembering): Mengingat informasi atau fakta dasar.
  2. Pemahaman (Understanding): Memahami makna materi atau informasi yang dipelajari.
  3. Penerapan (Applying): Menggunakan informasi dalam konteks baru.
  4. Analisis (Analyzing): Memecah informasi menjadi bagian-bagian untuk melihat hubungan antar bagian.
  5. Sintesis (Evaluating): Menilai informasi dan menghasilkan ide atau solusi.
  6. Evaluasi (Creating): Membuat sesuatu yang baru berdasarkan informasi yang ada.

Model ini sangat berfokus pada perkembangan kemampuan berpikir siswa secara bertahap. Mulai dari mengingat fakta sederhana hingga menghasilkan ide atau karya yang lebih kreatif. Keunggulan utama Bloom’s Taxonomy adalah strukturnya yang jelas dan mudah dipahami, baik oleh guru maupun siswa. Oleh karena itu, model ini sangat populer di berbagai tingkat pendidikan.

Pada tingkat SMP di daerah terpencil, kejelasan struktur Bloom sangat membantu guru dalam merencanakan pembelajaran dan mengevaluasi perkembangan siswa. Misalnya, pada tingkat dasar seperti pengetahuan dan pemahaman, siswa bisa diajarkan untuk menghafal fakta atau memahami materi secara kontekstual tanpa memerlukan perangkat teknologi canggih. Ini sangat relevan di daerah terpencil yang terkadang kekurangan akses ke perangkat digital dan internet. Taksonomi Bloom memberikan kerangka kerja yang mudah diikuti, memungkinkan siswa untuk berkembang secara bertahap sesuai dengan tingkat kognitif mereka.

Ciri khas Bloom :

– Model ini menekankan pada tingkatan kognitif, yaitu kemampuan berpikir siswa yang berkembang dari tingkat dasar (menghafal) hingga tingkat tinggi (berkreasi).

– Bloom sangat berguna untuk merencanakan dan mengevaluasi pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.

Taxonomy of SOLO: Fokus pada Kedalaman Pemahaman

Berbeda dengan Bloom, Taxonomy SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome) dikembangkan oleh John Biggs dan Kevin Collis pada tahun 1982, dengan tujuan untuk menggambarkan tingkat kedalaman pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. SOLO mengklasifikasikan hasil pembelajaran siswa berdasarkan lima tingkat yang menggambarkan seberapa baik siswa dapat mengorganisasi dan menghubungkan informasi. Kelima tingkat tersebut adalah:

  1. Prestructural: Pemahaman yang sangat terbatas atau tidak akurat.
  2. Unistructural: Memahami satu aspek materi secara terpisah.
  3. Multistructural: Memahami beberapa konsep atau bagian dari materi, tetapi belum menghubungkannya.
  4. Relational: Menghubungkan berbagai konsep atau bagian materi secara koheren dan menyeluruh.
  5. Extended Abstract: Menerapkan pemahaman yang mendalam untuk menggeneralisasi atau membuat konsep baru di luar konteks yang dipelajari.

SOLO lebih menekankan pada kedalaman pemahaman daripada urutan berpikir yang linier. Siswa yang berada pada tingkat Relational dan Extended Abstract mampu menghubungkan berbagai konsep yang dipelajari, membangun pemahaman yang lebih kompleks dan terintegrasi. Oleh karena itu, SOLO lebih cocok digunakan untuk mengevaluasi keterampilan berpikir tingkat tinggi, seperti kemampuan analisis dan sintesis informasi.

Namun, di sekolah tingkat SMP di daerah terpencil, penerapan SOLO bisa menjadi tantangan. Keterbatasan sumber daya, baik dari segi fasilitas maupun pelatihan guru, bisa membuat sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang mendalam ini. Meskipun SOLO dapat sangat efektif dalam membantu siswa memahami hubungan antar konsep secara holistik, penggunaan model ini membutuhkan lebih banyak waktu, pelatihan, dan alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih mendalam. Siswa juga perlu mendapatkan bimbingan yang lebih intensif untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, seperti yang ada pada tingkat Relational dan Extended Abstract.

Ciri khas SOLO :

– SOLO lebih berfokus pada kedalaman pemahaman dan bagaimana siswa dapat menyusun atau mengorganisir informasi yang mereka pelajari.

– SOLO menekankan pada hubungan antar konsep dan kemampuan siswa untuk melihat hubungan antara berbagai bagian informasi.

Perbedaan Utama antara Taxonomy Bloom dan Taxonomy SOLO

– Fokus Utama :

– Bloom berfokus pada tingkatan berpikir dari yang paling dasar (menghafal) hingga yang paling kompleks (berkreasi).

– SOLO berfokus pada kedalaman pemahaman dan bagaimana siswa menyusun dan menghubungkan informasi.

– Struktur :

– Bloom memiliki enam kategori yang berurutan dari pengetahuan hingga evaluasi.

– SOLO memiliki lima tingkat, dengan fokus pada kedalaman dan hubungan antara informasi yang dipelajari.

– Aplikasi :

– Bloom lebih cocok untuk mengukur proses berpikir secara bertahap.

– SOLO lebih cocok untuk mengukur pemahaman yang mendalam terhadap suatu konsep atau materi.

Mana yang Lebih Mudah Diterapkan untuk Sekolah Tingkat SMP di Daerah?

Keduanya memiliki kelebihan, namun jika dilihat dari sisi kemudahan penerapan di sekolah tingkat SMP, Bloom’s Taxonomy mungkin lebih mudah diterapkan untuk sekolah di daerah terpencil yang memiliki keterbatasan sumber daya. Beberapa alasan mengapa Bloom lebih mudah diterapkan di SMP di daerah terpencil adalah:

A. Sederhana dan Jelas:

– Bloom’s Taxonomy memiliki struktur yang lebih sederhana dan jelas, yang memudahkan guru untuk merencanakan tujuan pembelajaran yang terstruktur dan mengevaluasi pencapaian siswa.

– Tingkat-tingkatnya lebih mudah dipahami oleh siswa karena berfokus pada tingkatan berpikir yang lebih mudah diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari.

B. Fleksibilitas :

– Bloom dapat digunakan dalam berbagai konteks dan jenis pembelajaran, dari yang lebih sederhana seperti menghafal hingga yang lebih kompleks seperti membuat karya kreatif. Ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan di berbagai mata pelajaran.

C. Penilaian yang Lebih Praktis :

– Guru bisa menggunakan taksonomi Bloom untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbagai bentuk penugasan, seperti ujian, proyek, atau presentasi, yang mudah diterapkan di sekolah dengan sumber daya terbatas.

Namun, SOLO juga dapat diterapkan jika: Sekolah atau guru memiliki waktu dan kemampuan untuk melatih siswa dalam berpikir lebih mendalam dan melihat hubungan antar konsep, SOLO bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Pendekatan ini lebih menekankan pada pemahaman yang lebih mendalam dan terhubung, yang bisa sangat bermanfaat dalam pengajaran berbasis konsep.

Perbandingan dan Penerapan di SMP Daerah

Ketika membandingkan kedua taksonomi ini dalam konteks sekolah SMP di daerah terpencil, Taxonomy of Bloom tampaknya lebih mudah diterapkan, terutama dalam situasi dengan keterbatasan sumber daya. Berikut adalah beberapa alasan mengapa Bloom lebih mudah diterapkan:

  • Struktur yang jelas dan sederhana: Bloom menyediakan kerangka yang mudah dipahami oleh guru dan siswa, serta mudah diterapkan dalam berbagai bentuk pembelajaran. Ini sangat penting bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil yang sering kali tidak memiliki akses ke pelatihan guru yang memadai.
  • Fleksibilitas dalam penilaian: Taksonomi Bloom memungkinkan guru untuk mengevaluasi perkembangan siswa secara bertahap. Guru dapat menilai pemahaman siswa mulai dari tingkat yang sederhana, seperti mengingat dan memahami fakta, hingga tingkat yang lebih tinggi, seperti penerapan dan evaluasi. Model ini juga mudah digunakan dalam bentuk penilaian yang lebih sederhana seperti ujian tulis atau tes lisan.
  • Mendukung pembelajaran bertahap: Dengan fokus pada pengembangan kemampuan berpikir secara bertahap, Bloom memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan secara progresif. Dalam konteks daerah terpencil, di mana banyak siswa mungkin belum memiliki latar belakang pendidikan yang kuat, model ini membantu mereka untuk mengikuti pembelajaran dari tingkat yang paling dasar.

Sementara itu, Taxonomy SOLO meskipun lebih efektif dalam mengukur pemahaman yang lebih mendalam, memerlukan penerapan yang lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak dukungan. Penerapan SOLO mungkin lebih cocok bagi sekolah-sekolah dengan fasilitas dan pelatihan guru yang lebih baik, atau jika sekolah tersebut memiliki akses ke teknologi yang mendukung pembelajaran berbasis konsep dan pemecahan masalah yang lebih kompleks. Namun, di daerah terpencil, penggunaan SOLO akan lebih menantang mengingat keterbatasan akses terhadap pelatihan guru yang mendalam dan penggunaan teknologi yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran berbasis kedalaman ini.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, meskipun Taxonomy SOLO menawarkan pendekatan yang lebih mendalam dan holistik dalam mengevaluasi pemahaman siswa, Taxonomy of Bloom lebih mudah diterapkan di sekolah-sekolah SMP di daerah terpencil. Bloom menawarkan kerangka yang lebih sederhana dan lebih fleksibel, yang memungkinkan guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, serta menilai pencapaian mereka secara bertahap. Dengan penerapan Bloom, guru di daerah terpencil dapat lebih mudah merencanakan dan mengevaluasi pembelajaran meskipun dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya. Oleh karena itu, Bloom’s Taxonomy lebih cocok untuk diterapkan di sekolah tingkat SMP di daerah dengan kondisi terbatas, namun tetap dapat menciptakan pembelajaran yang berkualitas dan terstruktur.

Penutup

Dari pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa Taxonomy of Bloom dan Taxonomy SOLO merupakan dua model taksonomi yang memiliki perbedaan mendasar dalam hal struktur dan fokusnya. Bloom lebih menekankan pada perkembangan kognitif siswa melalui tingkatan berpikir yang jelas, mulai dari pengingatan hingga penciptaan, sementara SOLO lebih berfokus pada kedalaman pemahaman dan kemampuan siswa untuk menghubungkan berbagai konsep yang dipelajari.

Dalam konteks sekolah tingkat SMP di daerah terpencil, yang sering kali menghadapi keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap sumber daya pendidikan, Taxonomy of Bloom tampaknya lebih mudah diterapkan dan lebih relevan. Strukturnya yang jelas dan mudah dipahami memungkinkan guru untuk merancang pembelajaran yang terstruktur dengan tujuan yang terukur, bahkan di daerah yang minim akses terhadap teknologi atau pelatihan khusus. Model ini juga lebih fleksibel dalam hal evaluasi, karena dapat diaplikasikan mulai dari pengetahuan dasar hingga tingkat berpikir yang lebih tinggi. Dengan demikian, Bloom’s Taxonomy dapat membantu memaksimalkan potensi siswa dalam mencapai hasil belajar yang optimal, meskipun dengan keterbatasan yang ada.

Namun demikian, meskipun Bloom lebih mudah diterapkan, Taxonomy SOLO tetap memiliki potensi yang besar untuk diterapkan dalam kondisi yang lebih mendukung. Penerapan SOLO akan lebih efektif di sekolah-sekolah dengan sumber daya yang lebih memadai, di mana kedalaman pemahaman dan hubungan antar konsep bisa digali lebih jauh. Untuk itu, penting bagi setiap sekolah untuk menilai kondisi dan sumber daya yang ada, serta memilih model yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks pembelajaran di wilayah tersebut.

Dengan pemilihan taksonomi yang tepat, para pendidik di daerah terpencil dapat memberikan pengalaman pembelajaran yang bermakna dan efektif bagi siswa. Oleh karena itu, penting bagi guru dan pengelola pendidikan untuk memahami perbedaan kedua model ini, serta mengadaptasi pendekatan pembelajaran yang paling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa mereka, guna menciptakan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia. (*)