Oleh: Erlina Junaningsih, Guru IPS di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Pendahuluan
Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober) selama puluhan tahun diperingati sebagai momen refleksi atas kedaulatan ideologi negara dan peringatan terhadap tragedi sejarah yang mengancam keutuhan bangsa. Bagi generasi milenial — lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an/awal 2000-an — peringatan itu tidak hanya soal upacara formal dan kenangan sejarah, melainkan kesempatan untuk menafsirkan kembali nilai-nilai dasar bangsa dalam konteks tantangan kontemporer : digitalisasi, pluralitas budaya, krisis iklim, ekonomi gig, dan pergeseran norma sosial.
Makna Historis vs Makna Kontemporer
Secara historis, Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan kita pada peristiwa yang hampir merobohkan negara dan pentingnya satu landasan (Pancasila) untuk menyatukan keragaman. Namun makna itu akan tergerus kalau hanya menjadi ritual simbolis. Bagi milenial yang hidup di era informasi cepat, makna kontemporer Pancasila harus terhubung dengan masalah konkret: keadilan sosial, kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, inklusivitas, dan etika digital.
Perspektif Milenial : Tantangan dan Keraguan
Jarak emosional dengan narasi sejarah
Banyak milenial tidak merasakan trauma sejarah secara langsung — yang mereka alami adalah dampak struktural dan sosial saat ini. Oleh karena itu, narasi Hari Kesaktian yang berfokus pada “kengerian lalu” sering terasa jauh dan tidak relevan.
Keresahan terhadap tata negara dan elit politik
Kekecewaan terhadap praktik politik (korupsi, nepotisme, politik identitas) membuat sebagian milenial skeptis terhadap seruan-seruan ideologis yang tampak hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Informasi dan disinformasi
Era digital membuka ruang luas bagi disinformasi; generasi ini bertanya : bagaimana nilai Pancasila relevan jika ruang publik dipenuhi hoaks dan polarisasi?
Individualisme dan mobilitas sosial
Pola hidup karier dan migrasi, serta orientasi pada pencapaian pribadi, membuat sebagian milenial merasa nilai-nilai kolektif seperti gotong royong perlu diformulasikan ulang agar relevan.
Peluang : Bagaimana Milenial Bisa Menghidupkan Pancasila
Memaknai kembali Pancasila sebagai etika publik yang pragmatis
Bukan hanya slogan, tapi pedoman perilaku : keadilan dalam platform ekonomi digital (fair pay untuk pekerja lepas), toleransi di ruang maya, serta tanggung jawab sosial perusahaan teknologi.
Menggabungkan Pancasila dengan literasi digital
Pendidikan kewarganegaraan modern harus termasuk literasi media: cara memverifikasi berita, etika bermedia sosial, dan memahami bagaimana algoritma bisa memperkuat atau merusak nilai-nilai Pancasila.
Aksi lokal yang nyata
Peringatan tidak hanya upacara — misalnya kampanye gotong royong berbasis komunitas, crowd-funding untuk inisiatif sosial, gerakan kebersihan lingkungan, atau proyek pendidikan anak kurang beruntung. Aksi konkret ini menunjukkan Pancasila sebagai praktik.
Narasi multimedia yang relevan
Gunakan film pendek, podcast, webseries, dan ilustrasi digital yang menceritakan nilai Pancasila lewat cerita sehari-hari—startup sosial yang membantu petani, cerita keberagaman lingkungan kampus, atau proyek kolaboratif antar-komunitas.
Rekomendasi Strategis untuk Merayakan Hari Kesaktian Pancasila ala Milenial
Format acara hybrid dan interaktif
Webinar diskusi panel yang melibatkan aktivis muda, ilmuwan data, pembuat konten, dan pejabat publik; sesi tanya jawab live; dan ruang kerja (workshop) untuk membuat aksi konkret.
Kampanye #PancasilaDalamAksi di media sosial
Tantangan kreatif (mis. 5 hari melakukan aksi kecil sesuai nilai Pancasila), diiringi toolkit digital (template poster, fakta sejarah ringkas, panduan aksi).
Kolaborasi dengan institusi pendidikan & startup
Modul sekolah yang mengaitkan Pancasila dengan entrepreneurship sosial, serta hackathon sosial untuk mencari solusi masalah lokal berdasarkan nilai Pancasila.
Pengukuran dampak sosial
Setiap program peringatan disertai indikator sederhana : jumlah relawan, volume bantuan, jangkauan literasi, atau perubahan sikap yang diukur melalui survei singkat — supaya perayaan tidak sekadar simbol.
Ruang dialog antar generasi
Fasilitasi percakapan antara generasi tua (yang menyaksikan peristiwa sejarah secara langsung atau melalui warisan naratif) dan milenial untuk saling memahami konteks dan harapan.
Risiko Jika Tidak Diadaptasi
Jika Hari Kesaktian Pancasila tetap diperingati dengan cara yang kaku dan simbolis, risiko utamanya adalah apatisme generasi muda — Pancasila akan dipandang sebagai “warisan ritual” bukannya panduan hidup yang hidup dan adaptif. Hal ini juga membuka celah bagi narasi-narasi alternatif yang bisa memecah kebersamaan sosial.
Penutup : Sebuah Seruan dari Sudut Pandang Milenial
Generasi milenial punya modal unik: keterhubungan global, kemampuan berinovasi cepat, dan kecenderungan untuk mengubah norma melalui aksi nyata dan komunitas. Hari Kesaktian Pancasila harus dijadikan momen transformasi— bukan sekadar pengingatan atas masa lalu, tetapi kesempatan untuk menerjemahkan nilai-nilai dasar bangsa ke dalam praktik sehari-hari yang relevan di abad ke-21. Bila Pancasila berhasil diperagakan sebagai solusi praktis bagi isu-isu modern — dari etika platform digital sampai keadilan ekonomi lokal — maka generasi milenial tidak hanya akan melestarikannya, melainkan juga menghidupkannya. (*)