Kajian Akademik: Kebijakan 50 Siswa per Rombel Gubernur Jabar Dinilai Bertentangan dengan Standar Nasional Pendidikan

0
125
Acep Sundjana Djakaria SE, MM (Ketua umum FKK SMKS provinsi Jawa Barat)

BANDUNG — Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 463.1/KEP.323-DISDIK/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah menuai sorotan tajam dari kalangan pendidikan, terutama sekolah swasta. Salah satu poin kontroversial dalam keputusan tersebut adalah penetapan kapasitas rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas. Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan regulasi nasional dan berpotensi menurunkan mutu pendidikan.

Dalam kajian akademik yang disusun Ketua Umum Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FKK SMKS) Provinsi Jawa Barat, Acep Sundjana Djakaria, SE., MM, disebutkan bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016, yang menyatakan jumlah maksimal peserta didik per rombel jenjang SMA dan SMK adalah 36 orang.

“Penetapan 50 siswa per rombel melanggar ketentuan tersebut dan berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran. Interaksi guru dan siswa akan terganggu, asesmen formatif sulit optimal, dan penguatan karakter menjadi terhambat,” tegas Acep dalam kajiannya.

Tidak Sesuai Permendikdasmen dan Merugikan Sekolah Swasta

Kajian juga menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 yang mengatur sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berdasarkan prinsip objektivitas, transparansi, dan proporsionalitas. Daya tampung seharusnya ditentukan berdasarkan jumlah ruang kelas, guru, dan sarana pendukung.

“Menaikkan kapasitas rombel tanpa kesiapan infrastruktur merupakan pelanggaran administratif dan pedagogis,” kata Acep.

Lebih lanjut, kebijakan ini dianggap menciptakan ketimpangan dan diskriminasi terhadap sekolah swasta. Masyarakat cenderung memilih sekolah negeri karena dianggap lebih murah dan mendapatkan afirmasi pemerintah, sementara sekolah swasta kehilangan peserta didik dan potensi pendanaan.

“Kami melihat kebijakan ini berpotensi menciptakan migrasi besar-besaran dari swasta ke negeri, mematikan sekolah swasta secara perlahan,” lanjutnya.

Berpotensi Digugat dan Bertentangan dengan Prinsip Kolaboratif

FKK SMKS menilai keputusan tersebut tidak hanya melanggar aturan teknis, tetapi juga berisiko hukum karena berlaku diskriminatif. Hal ini juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) yang menjamin kolaborasi antara sekolah negeri dan swasta dalam membangun ekosistem pendidikan nasional.

Rekomendasi: Cabut atau Revisi Keputusan Gubernur

Dalam kajiannya, FKK SMKS Jawa Barat menyampaikan lima rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat:

  1. Mencabut atau merevisi keputusan Gubernur yang menetapkan 50 siswa per rombel.
  2. Menyesuaikan daya tampung rombel maksimal 36 siswa, sesuai standar nasional.
  3. Menerapkan sistem afirmasi bersama antara sekolah negeri dan swasta dalam pencegahan anak putus sekolah.
  4. Melibatkan FKK sekolah swasta dalam penyusunan kebijakan pendidikan tingkat provinsi.
  5. Melakukan monitoring dan evaluasi independen dengan menggandeng perguruan tinggi dan auditor eksternal.

Menjaga Kualitas dan Keadilan Pendidikan

Acep menegaskan bahwa jika kebijakan ini tidak segera ditinjau ulang, maka bukan hanya mutu pendidikan yang akan terdampak, tetapi juga keberlanjutan sekolah swasta yang selama ini turut aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Keputusan ini harus dievaluasi demi menjaga kualitas, keadilan, dan keberlanjutan pendidikan yang inklusif dan kolaboratif di Jawa Barat,” pungkasnya. (Jajang Sukmana)