Oleh: Wahyu Hermawan, S.Pd., M.Si.
Abstrak
Peran guru di era pendidikan modern tidak hanya terbatas pada penyampaian materi pelajaran, melainkan juga sebagai fasilitator dalam pengembangan potensi peserta didik secara holistik. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan urgensi pandangan multidimensi guru terhadap murid sebagai pendekatan strategis dalam menumbuhkan perilaku yang baik dan mengembangkan potensi peserta didik. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa pandangan multidimensi yang mencakup aspek kognitif, afektif, sosial, dan spiritual dapat menciptakan proses pembelajaran yang lebih adaptif, bermakna, dan berpusat pada peserta didik. Temuan ini mendukung penerapan pendekatan humanistik dalam pembelajaran dan sejalan dengan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka.
Kata kunci: pandangan multidimensi, pendidikan humanistik, potensi peserta didik, Kurikulum Merdeka
Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian peserta didik. Dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia secara utuh, sesuai kodrat alam dan zamannya. Pandangan ini memperkuat posisi guru sebagai aktor utama dalam proses pendidikan yang tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan juga membimbing perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik.
Seiring dengan pergeseran paradigma pendidikan menuju pendekatan yang lebih berpusat pada peserta didik (student-centered learning), peran guru dituntut untuk lebih responsif terhadap keragaman individu peserta didik. Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons terhadap kebutuhan tersebut dengan menekankan pentingnya pembelajaran yang berdiferensiasi dan berbasis pada potensi masing-masing murid (Kemendikbudristek, 2022).
Untuk mewujudkan hal tersebut, guru perlu memiliki pandangan multidimensi terhadap murid, yaitu suatu cara pandang yang mencakup keseluruhan aspek perkembangan peserta didik, baik kognitif, afektif, sosial, maupun spiritual. Pandangan ini menjadi landasan penting dalam mengembangkan pendidikan yang humanistik dan transformatif.
Namun, dalam praktiknya, realitas di lapangan masih menunjukkan sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Banyak guru masih terjebak dalam pendekatan satu arah yang menitikberatkan pada capaian akademik semata. Murid yang tidak memenuhi standar kognitif seringkali dianggap tidak berpotensi, tanpa mempertimbangkan kekuatan mereka dalam aspek lain seperti seni, kepemimpinan, atau empati sosial. Akibatnya, muncul berbagai polemik di sekolah seperti labeling terhadap siswa, pengabaian terhadap kebutuhan emosional peserta didik, dan kurangnya ruang aktualisasi diri di luar mata pelajaran utama.
Polemik lainnya muncul dari tekanan administratif dan tuntutan kurikulum yang terkadang tidak sejalan dengan prinsip pembelajaran bermakna. Guru sering kali terbebani oleh target penyelesaian materi dan kewajiban pelaporan yang menyita waktu, sehingga kurang optimal dalam mengenali dan merespons kebutuhan individual peserta didik. Di sisi lain, minimnya pelatihan yang mendalam terkait pendekatan pembelajaran diferensiatif dan humanistik juga turut memperburuk situasi. Sebagian guru bahkan belum memiliki kompetensi atau paradigma yang tepat untuk memandang murid secara holistik.
Ketimpangan ini diperparah oleh kondisi sosial ekonomi keluarga murid yang bervariasi, yang secara tidak langsung memengaruhi kesiapan belajar anak. Murid yang berasal dari keluarga dengan tantangan ekonomi sering kali datang ke sekolah dengan beban psikologis, tetapi tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari lingkungan pendidikan. Dalam situasi seperti ini, kehadiran guru yang memiliki empati, kepekaan sosial, dan kemampuan memahami murid secara menyeluruh sangat diperlukan untuk menciptakan suasana belajar yang inklusif dan bermakna.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma secara sistemik dalam lingkungan sekolah, terutama dalam cara guru memandang dan memperlakukan murid. Pandangan multidimensi terhadap peserta didik tidak hanya akan menciptakan suasana belajar yang lebih adil dan humanis, tetapi juga membuka jalan bagi optimalisasi potensi anak sesuai kodrat dan zamannya. Kajian ini menjadi relevan untuk menggali lebih dalam bagaimana pandangan tersebut dapat diterapkan secara konkret dalam praktik pendidikan di era Kurikulum Merdeka.
Pembahasan
Guru sebagai Pendidik dengan Pandangan Multidimensi
Peran guru tidak lagi terbatas pada pengajar yang menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga sebagai fasilitator perkembangan holistik peserta didik. Pandangan multidimensi menuntut guru untuk memahami murid secara utuh, tidak hanya dari sisi akademik (kognitif), tetapi juga dari sisi afektif, sosial, emosional, bahkan spiritual. Guru yang memiliki pandangan ini akan lebih mampu menyesuaikan strategi pembelajaran dengan kebutuhan dan latar belakang peserta didik. Mereka dapat merancang pembelajaran berdiferensiasi yang memperhatikan gaya belajar, minat, dan kondisi psikososial murid, sebagaimana ditekankan dalam prinsip Kurikulum Merdeka.
Sebagai contoh, dalam satu kelas, seorang guru mungkin menghadapi murid yang unggul secara akademik, tetapi lemah dalam interaksi sosial; di sisi lain, terdapat murid yang menunjukkan empati tinggi namun kesulitan dalam memahami pelajaran abstrak. Tanpa pandangan multidimensi, guru cenderung menggeneralisasi pendekatan pengajaran dan mengabaikan potensi serta tantangan unik masing-masing anak. Hal ini dapat menyebabkan peserta didik kehilangan motivasi, merasa tidak dimengerti, atau bahkan mengalami tekanan psikologis.
Internalisasi Nilai Prilaku Baik Melalui Pendidikan Humanistik
Nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan hormat tidak cukup hanya diajarkan sebagai materi, tetapi harus diinternalisasi melalui pengalaman belajar yang menyentuh aspek afektif dan spiritual peserta didik. Guru yang memiliki kepedulian pada dimensi emosional anak dapat menjadi teladan sekaligus fasilitator pembentukan karakter. Pendekatan ini sejalan dengan teori pendidikan humanistik yang menekankan pentingnya kebutuhan akan penghargaan diri dan aktualisasi diri sebagai dasar tumbuhnya karakter positif (Maslow, 1943; Rogers, 1969).
Melalui pembiasaan positif, dialog reflektif, dan keteladanan guru dalam bersikap, nilai-nilai tersebut akan lebih mudah tertanam dalam diri peserta didik. Dalam konteks sekolah, pembelajaran yang melibatkan narasi kehidupan, diskusi moral, dan kegiatan sosial kolaboratif terbukti efektif dalam membentuk kesadaran etis anak. Ini memperkuat argumen bahwa pembelajaran tidak cukup hanya berorientasi pada kompetensi, tetapi juga harus menumbuhkan hati nurani dan sikap kemanusiaan peserta didik.
Strategi Optimalisasi Potensi Peserta Didik
Setiap anak memiliki potensi yang khas dan unik. Guru dengan pandangan multidimensi mampu mengenali potensi-potensi tersembunyi tersebut dan memberikan dukungan yang sesuai. Hal ini sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, di mana setiap murid merasa dihargai dan diberi ruang untuk tumbuh. Strategi yang dapat digunakan antara lain asesmen diagnostik non-akademik, observasi perilaku sosial, serta penguatan minat dan bakat melalui proyek individu atau kolaboratif.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, guru diharapkan mampu mengidentifikasi profil belajar peserta didik dan merancang pembelajaran yang kontekstual, relevan, dan personal. Ini bukan tugas yang mudah, karena menuntut perubahan mindset dari pendekatan pengajaran yang seragam menjadi pendekatan yang adaptif dan reflektif. Namun, dengan pelatihan yang tepat, dukungan kebijakan, dan kolaborasi profesional antar guru, strategi ini dapat diterapkan secara berkelanjutan.
Penutup
Pandangan multidimensi terhadap peserta didik merupakan fondasi penting dalam pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan manusia secara utuh. Guru yang memiliki kemampuan untuk melihat murid tidak hanya sebagai entitas kognitif, tetapi juga sebagai individu yang memiliki kebutuhan emosional, sosial, dan spiritual, akan lebih efektif dalam membangun pembelajaran yang adaptif dan bermakna.
Penanaman nilai kebajikan melalui pendekatan humanistik, penguatan karakter melalui keteladanan, serta optimalisasi potensi anak melalui pembelajaran berdiferensiasi, merupakan bentuk konkret implementasi dari pandangan ini. Meski berbagai tantangan masih dihadapi di lingkungan sekolah, seperti keterbatasan waktu, beban administrasi, dan belum meratanya kompetensi guru, transformasi pendidikan menuju pendekatan yang lebih manusiawi tetap menjadi kebutuhan mendesak.
Rekomendasi
Untuk mendukung penerapan pandangan multidimensi secara menyeluruh, diperlukan kebijakan yang berpihak pada peningkatan kapasitas profesional guru, khususnya dalam aspek pedagogi diferensiatif dan humanistik. Sekolah juga perlu membangun budaya reflektif dan kolaboratif antar pendidik untuk saling belajar dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi kompleksitas kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, pendidikan benar-benar dapat menjadi ruang pembebasan dan pertumbuhan bagi setiap anak bangsa.
Daftar Pustaka
Dewantara, K. H. (1967). Pendidikan: Pengaruh dan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Kemendikbudristek. (2022). Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396.
Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn. Columbus: Charles E. Merrill.
Tilaar, H. A. R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Penulis: KS SMPN 2 Cisewu