Transformasi Pendampingan Sekolah: Dari Supervisi ke Kolaborasi Menuju Pembelajaran Bermakna

0
24

Oleh : Lisda Qodariyah

 

Abstrak

Artikel ini mengangkat pengalaman pendampingan sekolah yang dilakukan oleh pengawas di era pendidikan abad ke-21. Pendekatan supervisi tradisional yang bersifat top-down sudah tidak relevan lagi dalam menjawab tantangan dan kebutuhan satuan pendidikan saat ini. Melalui pendekatan kolaboratif, pendamping sekolah dapat berperan sebagai mitra profesional yang mendorong terjadinya pembelajaran yang lebih bermakna. Pengalaman personal dalam menempuh perjalanan pendampingan sejauh tiga jam, serta tantangan sosial yang ditemui di lapangan, memperkuat makna transformasi peran pengawas sebagai fasilitator dan pelayan pendidikan. Artikel ini menegaskan pentingnya pendampingan yang humanis, reflektif, dan kontekstual demi terwujudnya mutu pembelajaran yang lebih baik.

Kata Kunci: pendampingan sekolah, pembelajaran bermakna, supervisi, kolaborasi, pendamping sekolah

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Perubahan dinamika dunia saat ini menuntut satuan pendidikan untuk menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga mampu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Kompetensi abad ke-21 menjadi acuan dalam pembelajaran di sekolah, sehingga peran guru, kepala sekolah, dan pendamping sekolah harus ikut berkembang.

Pendamping sekolah sebagai garda pendamping mutu pendidikan tidak lagi cukup hanya menjalankan peran supervisi administratif. Mereka perlu hadir sebagai mitra profesional yang dapat memfasilitasi proses refleksi, kolaborasi, dan peningkatan kapasitas di tingkat sekolah. Pendampingan yang efektif harus mampu menyesuaikan dengan konteks dan kebutuhan satuan pendidikan, serta bersifat membangun, bukan menghakimi.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak satuan pendidikan yang masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan pembelajaran yang bermakna—baik dari sisi manajemen kelas, kompetensi pedagogi, maupun motivasi guru. Maka diperlukan model pendampingan yang lebih empatik, kolaboratif, dan berbasis praktik nyata.

 

 

Rumusan Masalah

  • Bagaimana transformasi pendekatan supervisi ke arah kolaborasi dalam pendampingan sekolah?
  • Apa saja tantangan dan praktik baik dalam pelaksanaan pendampingan tersebut?
  • Bagaimana peran pengalaman personal turut membentuk nilai dalam pendampingan?

Tujuan Penulisan

  • Menggambarkan pergeseran peran pendamping sekolah dari supervisor ke mitra kolaboratif.
  • Menyampaikan pengalaman nyata pendampingan sekolah yang berdampak pada kualitas pembelajaran.
  • Menyadarkan pentingnya pendekatan reflektif dan empatik dalam praktik pendampingan.

Manfaat Penulisan

  • Bagi pendamping sekolah: sebagai refleksi profesional dalam melaksanakan tugas pendampingan.
  • Bagi kepala sekolah dan guru: memahami arti kolaborasi dalam proses pembelajaran bermakna.
  • Bagi pembaca umum: membuka wawasan tentang tantangan lapangan dalam dunia pendidikan.

Isi

1. Transformasi Peran Pendamping sekolah: Dari Supervisor ke Mitra Kolaboratif

Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” maka pendamping sekolah tidak hanya hadir sebagai penilai, tetapi juga sebagai penggerak semangat dan pemberi daya. Dalam praktiknya, pendampingan yang saya lakukan melibatkan pendekatan coaching dan refleksi bersama guru serta kepala sekolah. Hubungan kerja yang dibangun lebih horizontal dan saling belajar.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Michael Fullan yang menyatakan bahwa “collaborative cultures, not individual heroics, are what deliver results in schools.” Transformasi ini terlihat nyata dalam pendampingan di SMP Swasta, di mana kepala sekolah yang sebelumnya fokus pada kuantitas peserta didik, mulai menyadari pentingnya kualitas pembelajaran sebagai fondasi kepercayaan masyarakat.

2. Pendampingan yang Kontekstual dan Berorientasi pada Pembelajaran

Pendampingan yang efektif harus dimulai dari pemahaman terhadap kondisi dan kebutuhan nyata sekolah. Setiap satuan pendidikan memiliki karakteristik, tantangan, dan potensi yang berbeda, sehingga pendekatan yang digunakan pun tidak bisa disamaratakan. Itulah mengapa pendampingan berbasis konteks (contextual coaching) menjadi penting dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran.

Dalam praktiknya, saya menerapkan prinsip diferensiasi dalam melakukan pendampingan. Di sekolah yang masih menghadapi tantangan dalam manajemen kelas, fokus pendampingan diarahkan pada peningkatan kapasitas guru dalam menciptakan iklim belajar yang positif, penguatan komunikasi empatik, serta pengelolaan perilaku siswa secara afirmatif. Di sekolah lain yang sudah mulai terbuka pada inovasi, pendekatan saya lebih banyak mengarah pada penguatan desain pembelajaran aktif, pemanfaatan teknologi, serta pengembangan komunitas belajar.

Hasil studi Balitbang dan Perbukuan Kemendikbudristek (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar guru masih memerlukan penguatan dalam melakukan refleksi pembelajaran dan menyusun asesmen formatif secara tepat. Pendekatan kontekstual ini juga sejalan dengan kerangka kerja Coaching Model for Educational Change (Knight, 2018), yang menekankan bahwa pendampingan akan lebih bermakna jika dilakukan dengan mendengarkan guru, membangun relasi yang saling percaya, serta memberi ruang guru untuk mencoba dan merefleksikan praktik mengajarnya secara mandiri. Artinya, pendampingan bukan tentang “memberi tahu”, melainkan tentang memberdayakan. Dalam kerangka desain pembelajaran, saya juga mendorong guru untuk menerapkan pendekatan Understanding by Design sebagaimana dikembangkan oleh Wiggins & McTighe, yaitu memulai perencanaan pembelajaran dari tujuan akhir (enduring understandings), kemudian memikirkan bukti pencapaian (performance tasks), dan baru menyusun kegiatan pembelajaran. Pendekatan ini membantu guru lebih fokus pada makna pembelajaran, bukan hanya konten semata.

Hasil dari pendampingan yang kontekstual ini terlihat pada peningkatan kualitas refleksi guru setelah observasi kelas, meningkatnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran, serta tumbuhnya budaya kolaborasi antarguru dalam merancang pembelajaran. Saya juga melihat perubahan pola pikir kepala sekolah dalam mendukung guru sebagai pembelajar sepanjang hayat, bukan sekadar pelaksana kurikulum.

3. Tantangan Lapangan: Antara Fisik dan Psikologis

Pendampingan tidak lepas dari tantangan, termasuk tantangan geografis dan sosial. Salah satu pengalaman yang berkesan adalah ketika saya harus menempuh perjalanan hingga tiga jam menuju sekolah dampingan di daerah terpencil. Dalam perjalanan tersebut, saya pernah diberhentikan secara tiba-tiba oleh seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan dan meminta uang sejumlah Rp100.000_-. Meski situasi tersebut cukup menegangkan, saya berusaha tetap tenang dan memilih jalan damai.

Pengalaman ini memberi pelajaran penting: bahwa pendampingan adalah proses kemanusiaan, menyentuh berbagai realitas sosial yang tidak tercantum dalam prosedur kerja. Seperti dikatakan Nel Noddings, “Caring is the foundation of meaningful education.” Maka, setiap jarak dan tantangan menjadi bagian dari ikhtiar tulus dalam mendekatkan pendidikan kepada siapa pun, dan dimanapun.

 

4. Budaya Refleksi dan Kolaborasi Guru

Saya juga mendorong terciptanya komunitas belajar, lesson study, dan observasi sejawat di sekolah binaan. Refleksi menjadi budaya yang ditanamkan agar guru tidak hanya mengejar ketercapaian administrasi, tetapi benar-benar mengembangkan praktik mengajar secara berkelanjutan.

Kesimpulan

Transformasi pendampingan sekolah dari model supervisi tradisional menuju pendekatan kolaboratif merupakan kebutuhan mendesak dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Pendamping sekolah tidak lagi hanya berfungsi sebagai pemantau administrasi, melainkan sebagai mitra belajar yang mendorong terciptanya budaya refleksi, inovasi, dan perbaikan berkelanjutan di sekolah.

Pengalaman pribadi dalam menempuh jarak jauh dan menghadapi berbagai tantangan sosial selama proses pendampingan menjadi bagian integral dari proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pendampingan tidak hanya menuntut keahlian teknis, tetapi juga kekuatan emosional, empati, dan komitmen terhadap misi pendidikan.

Pendampingan yang bermakna berangkat dari kedekatan, bukan hanya secara geografis tetapi juga secara psikologis dan profesional. Melalui pendekatan kolaboratif yang hangat dan adaptif, pendamping sekolah dapat menjadi jembatan antara tantangan lapangan dan solusi nyata yang relevan dengan konteks sekolah.

Akhirnya, pendampingan bukanlah perjalanan menuju hasil akhir semata, melainkan proses perjalanan yang penuh makna. Setiap sekolah, setiap guru, dan setiap siswa adalah dunia yang patut diperjuangkan. Maka, kehadiran pendamping sekolah di tengah mereka bukan hanya tentang pelaksanaan tugas, tetapi tentang menghadirkan harapan dan perubahan yang nyata.

Daftar Pustaka

Balitbang dan Perbukuan Kemendikbudristek. (2021). Laporan Hasil Studi Nasional tentang Refleksi Pembelajaran dan Asesmen Formatif. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Fullan, M. (2014). The Principal: Three Keys to Maximizing Impact. San Francisco: Jossey-Bass.

Knight, J. (2018). The Impact Cycle: What Instructional Coaches Should Do to Foster Powerful Improvements in Teaching. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.

Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education (2nd ed.). New York: Teachers College Press.