Bersama Menjaga Satuan pendidikan Aman: Pendampingan Pengawas Satuan pendidikan dalam Penguatan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di Satuan Pendidikan

0
49

Oleh: Cucu Yulianti K, S.Pd., M.Pd., (Pengawas Sekolah Disdik Kab. Garut)

 

Latar Belakang

Setiap anak berhak merasa aman dan nyaman saat berada di satuan pendidikan. Namun, pada kenyataannya, masih banyak anak yang mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, perundungan, pelecehan, hingga kekerasan psikologis. Kekerasan ini bisa terjadi antar peserta didik, antara guru dan peserta didik, atau bahkan dari pihak luar yang masuk ke lingkungan satuan pendidikan. Hal ini tentu sangat mengganggu proses belajar mengajar  dan juga  perkembangan anak.

Pemerintah sudah merespon masalah ini dengan menerbitkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, yang mewajibkan setiap satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tugas TPPK adalah mencegah terjadinya kekerasan serta menangani kasus dengan cara yang benar, cepat, dan berpihak pada perlindungan anak.

Namun, banyak satuan pendidikan yang masih belum paham bagaimana menjalankan tugas TPPK ini. Meski tim sudah dibentuk, masih banyak hal yang belum dipahami: mulai dari bentuk-bentuk kekerasan, cara melapor, hingga bagaimana menindaklanjuti laporan dengan tepat. Guru dan staf satuan pendidikan masih ragu dan takut salah dalam mengambil langkah jika terjadi kasus kekerasan.

Sebagai pengawas satuan pendidikan, saya merasa perlu untuk turun langsung mendampingi satuan pendidikan agar TPPK yang sudah terbentuk bisa bekerja dengan maksimal. Pendampingan ini dilakukan bukan untuk mengoreksi, tetapi untuk menguatkan kapasitas tim, membangun kepercayaan diri, dan menumbuhkan semangat perlindungan anak di satuan pendidikan. Saya ingin memastikan bahwa satuan pendidikan tidak hanya bebas dari kekerasan, tapi juga menjadi tempat yang menyenangkan dan aman bagi semua peserta didik.

Melalui praktik baik ini, saya mendokumentasikan proses pendampingan yang dilakukan secara bertahap dan menyeluruh, agar bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi satuan pendidikan lainnya.

.

Tujuan

Praktik baik ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mewujudkan satuan pendidikan yang benar-benar aman dan ramah bagi semua anak. Kami ingin memastikan bahwa setiap peserta didik di Satuan pendidikan, dihargai, dan punya tempat untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan.

Melalui pendampingan ini, saya ingin membantu TPPK satuan pendidikan agar:

  • Lebih percaya diri dan paham peranannya dalam mencegah dan menangani kekerasan.
  • Memiliki panduan yang jelas dalam bentuk SOP, alur kerja, dan sistem pelaporan yang mudah digunakan.
  • Mampu berkolaborasi dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan, untuk memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak.
  • Terus melakukan evaluasi dan perbaikan, sehingga satuan pendidikan bisa berkembang menjadi lingkungan yang lebih aman, nyaman, dan menyenangkan untuk belajar.

Dengan cara ini, saya berharap satuan pendidikan bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu, tapi juga menjadi rumah kedua yang menumbuhkan rasa aman dan kebahagiaan bagi semua peserta didik.

Situation

Satuan Pendidikan telah membentuk TPPK sebagai amanat regulasi. Namun, tim belum memiliki pedoman teknis yang jelas, belum memahami alur pelaporan kekerasan, dan minim kolaborasi lintas pihak. Kepala satuan pendidikan mengakui bahwa tim butuh pendampingan menyeluruh.

Task

Sebagai pengawas sekolah, saya memiliki tugas penting untuk memastikan bahwa satuan pendidikan tidak hanya menjalankan proses belajar mengajar, tetapi juga menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan. Ketika turun ke Satuan Pendidikan, saya menemukan bahwa meskipun Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, implementasinya masih sangat terbatas.

Tantangan utama yang saya hadapi adalah bagaimana mengubah TPPK yang hanya “ada di atas kertas” menjadi tim yang benar-benar berfungsi aktif di lapangan. Banyak guru yang belum memahami sepenuhnya tugas dan peran dalam tim, belum ada SOP yang memandu kerja mereka, serta belum ada sistem pelaporan kekerasan yang dapat diakses siswa dengan aman.

Selain itu, kesadaran seluruh warga satuan pendidikan tentang bentuk-bentuk kekerasan juga masih minim, sehingga banyak kejadian yang tidak dianggap serius atau malah diabaikan. Dalam kondisi seperti ini, saya perlu menyusun strategi pendampingan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan edukatif.

Misi saya adalah membangun kapasitas tim dan satuan pendidikan secara menyeluruh, agar mereka tidak hanya paham aturan, tetapi juga siap bertindak jika terjadi kekerasan di sekolah. Ini bukan tugas mudah, tapi sangat penting untuk menjamin tumbuh kembang anak yang aman dan sehat secara psikologis.

Action (Tindakan)

Ada 4 langkah kegiatan dalam melakukan pendampingan ini yaitu:

Langkah 1: Identifikasi dan Asesmen Awal

Langkah pertama dalam praktik pendampingan ini adalah melakukan observasi awal, kegiatan ini dilaksanakan pada minggu pertama untuk mengetahui sejauh mana kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan tugas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Kegiatan ini dilakukan secara langsung ke satuan pendidikan dengan pendekatan yang bersahabat, bukan mengawasi, tetapi mendengarkan dan memahami.

Dalam observasi ini, saya berinteraksi dengan kepala satuan pendidikan, guru BK, beberapa guru lainnya, serta perwakilan peserta didik. Saya juga meninjau dokumen-dokumen yang sudah ada, seperti SK pembentukan TPPK, struktur tim, dan rencana kerja tahunan.

Dari hasil observasi, ditemukan bahwa meskipun TPPK sudah dibentuk secara formal, pemahaman dan pelaksanaan tugasnya masih belum optimal. Sebagian besar anggota tim masih bingung tentang peran mereka masing-masing, belum memiliki SOP atau alur kerja yang jelas, dan belum ada sistem pelaporan kekerasan yang terstruktur. Bahkan, banyak guru yang belum yakin bagaimana membedakan antara pelanggaran tata tertib biasa dengan tindakan kekerasan.

Dari sinilah kemudian ditentukan bahwa satuan pendidikan membutuhkan penguatan kapasitas tim melalui pendampingan yang sistematis, dimulai dari peningkatan pemahaman hingga penyusunan pedoman teknis.

Langkah 2: Pelatihan dan Simulasi Tugas TPPK

Setelah mengetahui kebutuhan utama satuan pendidikan, saya mengadakan pelatihan dan simulasi tugas TPPK yang di laksanakan pada minggu ke 2 dan 3  dan melibatkan seluruh anggota tim, kepala satuan pendidikan, guru BK, dan perwakilan guru wali kelas. Kegiatan ini dilakukan secara bertahap dalam dua sesi, masing-masing selama 2–3 jam, agar peserta bisa benar-benar memahami materi tanpa terburu-buru.

Pada sesi pertama, kami membahas tentang:

  • Jenis-jenis kekerasan di satuan pendidikan, termasuk yang sering tidak disadari sebagai bentuk kekerasan.
  • Tugas dan tanggung jawab TPPK sesuai Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023.
  • Prinsip perlindungan anak dan satuan pendidikan ramah anak.

Sesi kedua berfokus pada studi kasus dan simulasi penanganan, seperti:

  • Apa yang harus dilakukan jika ada peserta didik mengadu mengalami perundungan.
  • Bagaimana mencatat dan menangani laporan tanpa menyudutkan korban maupun pelapor.
  • Simulasi koordinasi dengan pihak luar, seperti Puskesmas atau UPTD PPA.

Peserta pelatihan sangat antusias karena banyak kasus nyata yang mereka temui di satuan pendidikan ternyata selama ini belum ditangani secara tepat. Pelatihan ini membuka wawasan sekaligus membangkitkan semangat tim untuk mengambil peran lebih aktif dalam menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang aman.

Simulasi juga membantu tim belajar mengambil keputusan dengan tepat dan bertindak secara terkoordinasi, tidak tergesa-gesa, dan tetap berpihak pada korban.

 

Langkah 3: Pendampingan Penyusunan SOP dan Alur Kerja

Setelah anggota TPPK mendapatkan bekal pemahaman melalui pelatihan dan simulasi, langkah selanjutnya adalah mendampingi mereka untuk menyusun SOP (Standar Operasional Prosedur) dan alur kerja penanganan kekerasan di satuan pendidikan yang dilaksanakan pada minggu ke 4 dan ke 5. Langkah ini penting agar tim tidak hanya paham secara teori, tapi juga memiliki pedoman teknis yang bisa digunakan dalam situasi nyata.

Pendampingan dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama kepala satuan pendidikan, guru BK, dan perwakilan guru lainnya. Dalam kegiatan ini, kami bersama-sama:

  • Mengidentifikasi tahapan penting dalam proses pelaporan dan penanganan kekerasan, mulai dari saat laporan diterima hingga tindak lanjutnya.
  • Menyusun alur kerja yang mudah dipahami oleh semua pihak, termasuk peserta didik dan orang tua.
  • Menentukan siapa melakukan apa, kapan, dan bagaimana, dalam setiap tahapan penanganan kasus.
  • Menyusun format pelaporan dan dokumentasi kasus yang praktis namun lengkap.
  • Merancang mekanisme pelaporan yang aman dan nyaman bagi peserta didik, seperti kotak pengaduan di titik strategis dan pelaporan via BK secara daring maupun luring.

Kami juga melibatkan tim untuk menyusun protokol kerja sama dengan pihak luar, seperti UPTD PPA, Puskesmas, dan Polsek setempat. Hal ini bertujuan agar ketika terjadi kasus yang berat, satuan pendidikan sudah tahu harus berkoordinasi dengan siapa dan langkah apa yang diambil, tanpa panik atau bingung.

Proses penyusunan ini dilakukan selama dua minggu, dengan sesi bimbingan teknis intensif, revisi dokumen, dan uji coba terbatas. Hasil akhirnya adalah dokumen SOP resmi TPPK Satuan Pendidikan, yang kemudian disahkan oleh kepala satuan pendidikan sebagai panduan resmi penanganan kekerasan.

Pendampingan ini tidak hanya menghasilkan dokumen, tapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama di antara anggota tim, karena mereka terlibat langsung menyusun dan memahami isi dari setiap langkah yang disepakati.

 

Langkah 4: Monitoring dan Evaluasi Implementasi TPPK

Pada minggu ke 6 penyusunan SOP dan alur kerja selesai, pendampingan tidak langsung dihentikan. Justru di sinilah peran saya sebagai pengawas semakin penting, yaitu untuk memantau pelaksanaan dan memberikan umpan balik secara langsung di lapangan. Langkah ini dilakukan agar TPPK benar-benar menjalankan fungsinya sesuai dengan pedoman yang telah disusun bersama.

Monitoring dilakukan dalam bentuk:

  • Observasi langsung saat ada kasus atau laporan masuk.
  • Wawancara ringan dengan anggota TPPK, peserta didik, dan guru BK terkait pelaksanaan prosedur.
  • Pemeriksaan dokumen seperti catatan laporan, berita acara, dan hasil tindak lanjut.
  • Kuesioner singkat kepada peserta didik dan guru tentang pemahaman mereka terhadap sistem pelaporan dan penanganan kekerasan.

Hasil monitoring menunjukkan bahwa meskipun pelaksanaan masih belum sempurna, ada peningkatan signifikan dalam kesadaran dan respons tim terhadap kasus kekerasan. Salah satu contohnya adalah ketika ada peserta didik yang melapor merasa tidak nyaman karena sering diejek oleh temannya. Laporan ini langsung ditindaklanjuti oleh guru BK dan tim TPPK, kemudian diselesaikan dengan mediasi yang melibatkan wali kelas dan orang tua. Prosesnya terdokumentasi dengan baik dan mendapat apresiasi dari kepala satuan pendidikan.

Dari evaluasi ini juga ditemukan beberapa tantangan, seperti:

  • Belum semua guru paham bentuk kekerasan verbal atau psikologis.
  • Peserta didik masih ragu untuk melapor karena takut dianggap “mengadu”.
  • Perlu peningkatan kerja sama lebih intens dengan pihak eksternal seperti Puskesmas dan UPTD PPA.

Saya kemudian menyusun rekomendasi perbaikan bersama kepala satuan pendidikan, termasuk rencana pelatihan lanjutan dan pembuatan video edukasi tentang pelaporan kekerasan untuk peserta didik.

Langkah keempat ini membuktikan bahwa monitoring yang bersifat mendukung, bukan menghakimi, akan sangat membantu satuan pendidikan dalam memperkuat praktik pencegahan kekerasan secara berkelanjutan.

Result

Pendampingan yang dilakukan selama tiga bulan ini memberikan dampak positif yang nyata bagi satuan pendidikan, khususnya bagi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Berikut beberapa hasil yang berhasil dicapai:

  1. TPPK Aktif dan Berfungsi

Tim yang sebelumnya masih pasif dan bingung dengan tugasnya kini lebih percaya diri dan aktif menjalankan peran. Anggota TPPK kini rutin melakukan pertemuan evaluasi dan memiliki pembagian tugas yang jelas.

  1. SOP dan Alur Kerja yang Jelas

Satuan pendidikan kini memiliki dokumen SOP dan alur kerja penanganan kekerasan yang lengkap, mudah dipahami, dan sudah disosialisasikan ke seluruh warga satuan pendidikan. Dokumen ini dijadikan pedoman resmi dalam menangani setiap laporan kekerasan.

  1. Meningkatnya Kesadaran dan Kepekaan

Guru, peserta didik, dan tenaga kependidikan mulai memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu kekerasan. Guru lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang berpotensi menyakiti, dan peserta didik mulai berani menyampaikan keluhan.

  1. Satu Kasus Diselesaikan dengan Tuntas dan Bijak

Selama masa pendampingan, terdapat satu kasus perundungan verbal antarpeserta didik yang ditangani TPPK dengan pendekatan mediasi dan pembinaan. Kasus ini ditindaklanjuti dengan baik dan menjadi momentum penting bahwa sistem sudah mulai berjalan.

  1. Terbangunnya Budaya Perlindungan Anak di Satuan pendidikan

Pendampingan ini tidak hanya menghasilkan dokumen dan prosedur, tapi juga menumbuhkan semangat kolektif untuk menjadikan satuan pendidikan sebagai tempat yang aman, ramah, dan berpihak pada tumbuh kembang anak.

 

Refleksi dan Rekomendasi

Melalui proses ini, saya sebagai pengawas satuan pendidikan belajar bahwa pendampingan yang efektif bukan tentang memberi instruksi, tapi tentang hadir, mendengarkan, dan menguatkan. Setiap satuan pendidikan punya potensi, tinggal diberikan ruang dan dukungan yang tepat.

Beberapa hal yang menjadi catatan penting sekaligus rekomendasi ke depan:

  1. Pendampingan harus berkelanjutan

Satuan pendidikan membutuhkan penguatan secara berkala, bukan hanya saat awal pembentukan tim. Pelatihan lanjutan dan forum berbagi praktik baik antar-TPPK sangat disarankan.

  1. Sosialisasi kepada peserta didik perlu diperkuat

Peserta didik sebagai pihak yang paling rentan masih membutuhkan informasi yang lebih banyak dan beragam tentang hak mereka dan cara melapor. Media kreatif seperti poster, video pendek, atau drama satuan pendidikan bisa digunakan.

  1. Keterlibatan orang tua perlu diperluas

Penanganan kekerasan akan lebih kuat jika didukung oleh orang tua. Perlu diadakan pertemuan atau workshop khusus untuk orang tua tentang perlindungan anak.

  1. Perlu dibentuk forum TPPK antar satuan pendidikan

Ini akan memperluas wawasan, memperkuat jaringan, dan membuka ruang kolaborasi antar satuan pendidikan dalam upaya pencegahan kekerasan.

Dokumentasi Pendukung

  • Foto kegiatan pelatihan dan workshop
  • Dokumen SOP dan alur kerja TPPK Satuan Pendidikan
  • Rekap hasil asesmen awal dan evaluasi akhir
  • Surat kerja sama dengan instansi layanan

 

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
  2. UNICEF Indonesia. (2021). Safe to Learn: Panduan Pencegahan Kekerasan di Satuan pendidikan.
  3. KPAI. (2022). Laporan Tahunan KPAI: Kekerasan di Satuan Pendidikan.
  4. Save the Children Indonesia. (2020). Membangun Satuan pendidikan Aman dan Ramah Anak.