Kilas Balik Kurikulum di Indonesia

0
17

Oleh: Eding , S.Pd.

 

ABSTRAK

Kurikulum merupakan pedoman pelaksanaan penyelenggaraan Pendidikan di Lembaga Pendidikan formal baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh Masyarakat. Dalam kurikulum memuat beberapa komponen meliputi standar Kelulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Standar kelulusan merupakan acuan untuk menetukan kelulusan peserta didik setelah selesai mengikuti pembelajaran selama waktu yang ditentukan menurut jenjang Pendidikan Formal. Standar isi merupakan bagian kurikulum yang memuat jenis mata Pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik. Standar proses yang mengatur tentang pelaksanaan proses pembelajaran mulai dari kalender Pendidikan pengaturan jumlah jam Pelajaran dan lamanya waktu dalam satu jam pelajaran, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, pengaturan tatap muka dalam dalam kelas (kegiatan instrakurikuler) dan kokuriker. Standar penilaian merupakan barometer atau tolak ukur keberhasilan proses dan hasil pembelajaran.

Dalam kurikulum dimuat juga program kegiatan ekstra kurikuler yang merupakan kegiatan diselenggarakan di luar jam Pelajaran tatap muka di kelas. Kegiatan ekstrakurikuler ada yang sifatnya wajib ada yang sifatnya pilihan sesuai dengan minat dan bakat peserta didik, Yang wajib adalam ekstrakurikuler Pramuka sedangkan yang merupakan pilihan menurut minat dan bakat seperti PMR,Olah Raga, Kesenian, Paskibra, dan sebagainya.

Kurikulum Satuan Pendidikan dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa selalu mengalami perubahan untuk penyempurnaan sesuai dengan perkembangn Ilmu Pengetahun dan Teknologi juga perkembangan jaman untuk memenuhi kebutuhan mereka setelah terjun di kalangan Masyarakat dan dunia kerja.

Setiap perubahan kurikulum tentu saja memiliki ciri serta orintasi yang berbeda-beda disesuaikan dengan jamannya. Termasuk sistem penilaian untuk menentukan kelulusan peserta didik setelah menempuh proses pendidikan dalam jenjang Pendidikan tertentu. Setiap akhir pendidikannya selalu ada penilaian akhir atau ujian yang istilahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan Kurikulum tersebut.

 

  1. PENDAHULUAN
    • Latar Belakang

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem pendidikan nasional terus mengalami perubahan dan penyesuaian, termasuk dalam hal penilaian akhir atau ujian sebagai penentu kelulusan peserta didik. Ujian akhir menjadi salah satu indikator utama dalam menilai pencapaian belajar siswa pada setiap jenjang pendidikan. Namun, seiring dengan dinamika sosial, politik, dan perkembangan ilmu pengetahuan, sistem ujian akhir di Indonesia mengalami berbagai transformasi yang berkaitan erat dengan perubahan kurikulum dari masa ke masa.

Pada awal kemerdekaan, sistem pendidikan masih mengadopsi pola kolonial, dan ujian akhir bersifat tersentralisasi. Seiring berjalannya waktu, kurikulum Indonesia mulai berkembang, dari Kurikulum 1947 yang bersifat akademis, hingga Kurikulum 1975 yang memperkenalkan pendekatan tujuan instruksional, dan selanjutnya Kurikulum 2006 (KTSP) yang memberi otonomi pada sekolah. Setiap perubahan kurikulum membawa dampak pada bentuk, fungsi, dan pelaksanaan ujian akhir.

Penilaian hasil belajar peserta didik merupakan bagian krusial dalam sistem pendidikan, karena menentukan sejauh mana pencapaian kompetensi siswa selama menempuh proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan Indonesia, penilaian akhir menjadi salah satu acuan penting untuk menentukan kelulusan peserta didik dari jenjang pendidikan tertentu, seperti SD, SMP, atau SMA. Oleh karena itu, sistem penilaian harus selaras dengan perkembangan kurikulum yang berlaku agar mampu mengukur kompetensi secara menyeluruh dan bermakna.

Selama bertahun-tahun, sistem penilaian di Indonesia mengalami berbagai transformasi. Dari dominasi Ujian Nasional (UN) yang lebih menekankan aspek kognitif, kini pemerintah mengarah pada pendekatan penilaian yang lebih holistik melalui kebijakan Asesmen Nasional dan penilaian formatif serta sumatif berbasis kurikulum. Perubahan ini dipicu oleh kesadaran bahwa penilaian seharusnya tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga memotret proses, karakter, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa.

Puncaknya, Ujian Nasional (UN) yang diberlakukan sejak awal 2000-an menjadi simbol penilaian tersentralisasi. Namun, UN banyak menuai kritik karena terlalu menekankan aspek kognitif, mengabaikan keberagaman potensi siswa, dan sering kali menjadi beban psikologis. Hal ini mendorong pergeseran paradigma menuju penilaian yang lebih komprehensif, sehingga pada 2020 pemerintah resmi menghapus UN dan menggantinya dengan Asesmen Nasional sebagai bagian dari reformasi kurikulum menuju Kurikulum Merdeka.

Dalam Kurikulum Merdeka pendekatan penilaian lebih menekankan pada asesmen formatif, autentik, dan kontekstual. Guru diberi kebebasan untuk menilai capaian belajar peserta didik melalui berbagai instrumen, seperti portofolio, proyek, dan observasi. Selain itu, kelulusan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh ujian nasional, tetapi berdasarkan penilaian yang mencerminkan ketercapaian Profil Pelajar Pancasila dan kompetensi dasar yang ditetapkan kurikulum.

Dengan penyempurnaan kurikulum dan sistem penilaian ini, diharapkan proses pendidikan di Indonesia mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki karakter, kemandirian, dan kemampuan adaptif yang tinggi dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata.

Kini, penilaian akhir tidak lagi semata-mata didasarkan pada ujian nasional terstandar, melainkan lebih mengutamakan proses pembelajaran, asesmen formatif, dan ketercapaian profil pelajar Pancasila. Penyempurnaan sistem ujian akhir ini mencerminkan upaya berkelanjutan pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, relevan, dan memanusiakan peserta didik.

 

  • Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk:

  1. Menganalisis perkembangan sistem penilaian akhir peserta didik di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan hingga era Kurikulum Merdeka saat ini.
  2. Mengidentifikasi perubahan pendekatan penilaian dari sistem ujian yang bersifat tersentralisasi menuju penilaian yang lebih holistik dan berorientasi pada kompetensi.
  3. Menjelaskan relevansi sistem penilaian dengan perubahan kurikulum, serta dampaknya terhadap proses pembelajaran dan kelulusan peserta didik.
  4. Memberikan gambaran tentang tantangan dan peluang dalam penerapan sistem penilaian baru, khususnya dalam menilai capaian peserta didik secara menyeluruh.
  5. Mendorong pemahaman yang lebih kritis terhadap kebijakan pendidikan, terutama terkait evaluasi pembelajaran sebagai bagian penting dari kualitas pendidikan nasional.

 

  1. SEJARAH AWAL KURIKULUM DI INDONESIA

2.1 Era Kolonial Belanda

Pada masa penjajahan Belanda, sistem pendidikan di Indonesia dirancang untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial, bukan untuk mencerdaskan seluruh rakyat. Kurikulum yang diterapkan sangat terbatas dan bersifat diskriminatif, hanya diperuntukkan bagi anak-anak bangsa Eropa, Indo-Belanda, atau pribumi dari kalangan bangsawan dan elite.

Pendidikan pada era ini terbagi dalam beberapa jenis sekolah berdasarkan strata sosial dan etnis, seperti:

Europeesche Lagere School (ELS): untuk anak-anak Belanda dan elite pribumi, kurikulumnya mirip dengan sekolah dasar di Belanda.

Hollandsch-Inlandsche School (HIS): untuk anak-anak pribumi kalangan atas, menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

Hollandsch Chineesche School (HCS): untuk anak-anak Tionghoa.

Sekolah rakyat (Sekolah Desa): untuk rakyat biasa, hanya 3 tahun, kurikulumnya sangat terbatas (membaca, menulis, berhitung) dan tidak dirancang untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Ciri khas kurikulum pada masa ini adalah:

Berorientasi pada administrasi kolonial: pendidikan diarahkan untuk mencetak tenaga kerja rendahan yang bisa membantu jalannya pemerintahan kolonial.

Tidak mengembangkan potensi bangsa: tidak ada pendidikan kewarganegaraan atau kebangsaan.

Menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, kecuali di sekolah rakyat.

Secara umum, kurikulum kolonial tidak bertujuan untuk memberdayakan rakyat Indonesia, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial.

 

2.2 Pendidikan Masa Pendudukan Jepang

Selama masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan besar, baik dari sisi struktur, kurikulum, maupun ideologi yang mendasarinya. Jepang memanfaatkan pendidikan sebagai alat propaganda untuk menanamkan semangat nasionalisme Jepang dan loyalitas terhadap Kaisar.

Ciri-ciri utama kurikulum dan pendidikan masa ini antara lain:

  1. Bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar

Bahasa Belanda dilarang digunakan di sekolah-sekolah. Bahasa Jepang diharuskan sebagai bahasa pengantar, dan menjadi salah satu mata pelajaran wajib.

  1. Pendidikan yang bersifat indoktrinatif

Kurikulum menekankan pada pembentukan loyalitas terhadap Jepang. Siswa diajarkan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo), melakukan penghormatan kepada Kaisar, serta mengikuti upacara bendera Jepang (Hinomaru).

  1. Pendidikan jasmani dan militer ringan

Latihan fisik seperti baris-berbaris, senam Jepang (taisō), serta kedisiplinan militer diperkuat dalam kurikulum. Ini bertujuan menyiapkan tenaga yang bisa mendukung kepentingan perang Jepang di Asia-Pasifik.

  1. Pengurangan mata pelajaran akademik

Mata pelajaran yang bersifat ilmiah atau akademik dikurangi, diganti dengan pelajaran moral, kerja bakti, dan keterampilan praktis. Sekolah juga sering diliburkan untuk kerja paksa (romusha).

  1. Jumlah sekolah terbatas

Jepang hanya membuka sekolah dasar (6 tahun), dan sangat membatasi akses ke jenjang pendidikan menengah dan tinggi, agar rakyat Indonesia tidak terlalu “cerdas” dan sulit diatur.

Secara keseluruhan, kurikulum pada masa Jepang bertujuan mencetak rakyat yang patuh, kuat secara fisik, namun terbatas secara intelektual, demi kepentingan militer dan ideologi Jepang Raya.

2.3 Pendidikan Pasca Kemerdekaan

Dari awal Indonesia Merdeka Pendidikan formal sudah mulai tertata dengan diberlakukannya kurikulum pendidika. Kurikulum pertama yang berlaku di negara kita s]pasca Merdeka yakni Kurikulum 1947. Kurikulum tersebut merupakan pedoman penyelenggaraan Pendidikan formal yang berorientasi pada penguatan kognitif serta Pendidikan karakter dan nasionalisme. Namun demikian walau sudah diberlakukan kurikulum pasca merdeka, tapi dalamnya masih kental dipengaruhi oleh dunia Pendidikan Belanda. Hal tersebut wajar karena Masyarakat Indonesia dibesarkan dan didewasakan dalam duni kehidupan pengaruh colonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun atau 3 abad setengah dalam pemerintah penjajahan Belanda. Pada Kurikulum ini untuk menentukan keberhasilan atau kelulusan siswa ditentukan setelah menempuh tes ujian akhir yang disebut ujian penghabisan.

Seiring dengan kedewasaan para pemikir dan para ahli bidang Pendidikan yang makin berkembang dan ingin terlepas dari pengaruh Pendidikan colonial Belanda. Pada tahun 1952 mulai ada perubahan kurikulum yang lebih mendtail dengan diberlakukannya kurikulum 1952. Pada kurikulm ini sedikit mulai ada perubahan dengan disusunnya tujuan pembelajaran untuk semua mata Pelajaran yang diajarkan pada tahun tersebut. Fokus utama atau orientasi kurikulum 1952 menekankan pada widang kognitif dan pembentukan karakter kebangsaan. Karakter kebangsaan pada waktu itu menjadi hal pending untuk memperkokoh kemerdekaan yang baru seumur jagung, perlu adanya penstabilan warga negara Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan hasil perjuangan para tokoh pahlawan kemerdekaan Indonesia. Pesrta didik dinyatkan lulus setelah mengikuti tes ujian akhir atau penghabisan sama seperti kurikulum sebelumnya, hanya di kuriulum 1952 lebih terstruktur.

Pada tahun 1964 kurikulum Pendidikan disempunakan lagi dengan diberlakukan kurikulum 1964 yang dikenal dengan nama Pancawardhana. Pancawardhana memfokuskan Pendidikan pada lima aspek pengembangan yaitu moral, kecerdasan,emosional/artistic, keterampilan dan jasmani. Pada tahun tersebut sudah mulai mengarah tentang kecerdasan dan keterampilan. Kecerdasan diperlukan untuk berfikir arif bijaksana dan luwes intelektual yang sangat diperlukan untuk memikirkan kamjuan dan perkembangan Pembangunan neagara yang baru berdiri 19 tahun. Sedangkan keterampilan juga sangat diperlukan untuk dapat bergerak ,bertindak, dan berbuat yang tepat demi kehidupan dan kemajuan bangsa. Untuk menentukan kelulusan di kurikulum 1964 sudah mulai memberlakukan ujian Negara.

Pendidikan terus berkembang dan mengalami penyempurnaan penyempurnaan sejalan dengan para pemikir yang semakin tumbuh dewasa. Maka empat tahun kemudian disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1968 yang lebih menekankan pada pembentukan manusia Pancasila Sejati sesuai dengan pedoman dasar negara kita yaitu Pancasila. Pendidkan tahun itu difokuskan pada pembentukan manusia yang sehat jasmani Rohani, memiliki pengetahuan dasar, dan mampu bermasyarakat. Untuk menentukuan kelulusan di akhir tahun pelajaran masih diberlakukan tes ujian negara yang menekankan pada penguasaan akademis.

Bertepatan denagn mulai masuknya penulis dalam dunia Pendidikan yakni di Sekolah Dasar, Ketika itu baru diberlakukan kurikulum 1975. Kurikulum ini menggunakan pendekatan pada Rencana Proses Belajar Mengajar , pada waktu itu persiapan yang wajib ada setiap guru adalah Satuan Pelajaran (Satpel). Tujuan pembelajaran semakin diperjelas untuk setiap kegiatan pembelajaran dengan acuan Tujuan Instruksional Umum dijabarkan lagi ke dalam Tujuan Instruksional Khusus. Fokus utamanya adalah efesiensi dalam pembelajaran melalui pendekatan procedural. Dari situlah Pendidikan negara kita mulai tertata rapih walau memang tak akan mencapai pada tingkat sempurna, minimal pengaturan Pendidikan formal itu tertata dengan adanya acuan yang lebih jelas. Sementara untuk menentukan kelulusan siswa dari lembaga forml pada kurikulum ini sudah berubah menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir. Penilaian difokuskan pada ketercapaian kognitif, afektif dan psikomotorik.

Dari tahun ke tahun perubahan demi perubahan dalam segala bidang terus mewarnai dunia kehidupan sejalan dengan kemajuan teknologi. Demikian pula di dunia Pendidikan harus bisa mengimbangan perubahan agar bisa bersaing dengan Pendidikan dunia internasional, sehingga memaksa Kurikulum pendidkan formal harus disempurnakan lagi. Muncullah kurikulum baru yakni kurikulum 1984. Pada masa berlaku kurikulum’84 ini lahir juga istilah baru dalam dunia Pendidikan yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif atau yang dikenal dengan CBSA dan Pembelajaran Kreatif Efektif dan Menyenangkan disingkat PKEM. Pendekatan CBSA menekankan pada keaktifan siswa dalam proses belajar dan harus menyenangkan. Kalau memperhatikan kurikulum Sekarang yang memfokuskan pada keaktifan peserta didik, pada tahun 1984 juga sudah dilaksanakan siswa terlibat secra aktif dalam proses pembelajaran, namun karena kurangnya penerpan dan control yang melekat dalam pelaksanaannya hingga akhirnya CBSA dipandang kurang berhasil dan harus ada penyempurnaan lagi.

Menetukan kelulusan pada kurikulum 1984 ditentukan dengan tes yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Selain hasil EBTANAS juga diperhitungkan dengan hasil penilaian belajar dari guru. Fokus penilaian ujian atau Keberhasilan ujian tetap pada pencapaian kognitif, afeltif, dan psikomotor.

Sehubungan dengan semakin banyaknya materi yang harus dikuasai siswa seiring pula dengan perkembangan zaman dan Iptek yang kian pesat, para ahli terus berfikir untuk mengakomodir perubahan tersebut dengan diimbangi arah Pendidikan yang lebih tepat sesuai masanya. Pihak dinas terkait yang bertanggung jawab atas kemajuan Pendidikan Indonesi, mencoba mengkolaborasikan antara Konsep Kurikulum 1975 dengankonsep kurikulum 1984 yang berusaha mengakomodasi berbagai aspek pendidikan. Namun, kurikulum ini dianggap membebani siswa karena banyaknya materi yang harus dikuasai, sehingga tidak lama harus diubah lagi.

Pengembangan kurikulum kolaborasi konsep 1975 dengan 1984 disempurnakan lagi dengan lahirnya kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004. Pendekatan KBK adalah fokus pada pencapaian kompetensi siswa. Kurikulum ini menitikberatkan kemampuan siswa pada setiap aspek, baik pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Keberhasilan peserta didik yang dinyatakan lulus diubah siswa harys menempuh ujian yang dinamakan Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian ini mengukur keberhasilan secara nasional atau Standar Nasional. KBK juga ternyata dianggap masih kurang mengakomodir perkembangan dunia IPTEK, dua tahun kemudian diubah lagi untuk disempurnakan pada kurikulum baru.

Pada tahun 2006 muncul kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada masa berlaku kurikulum 2006 ini pemerintah lebih memberi keleluasaan kepada Satuan Pendidikan untuk Menyusun Kurikulum di masing-masing Tingkat satuan Pendidikan. Sekolah diberi kewenangan secara otonomi sekolah Menyusun dokumen kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi daerahnya masing-masing , ada penambahan materi Pelajaran local yang diberi nama Muatan Lokal (Mulok). KTSP bertahan selama 7 tahun sebelum akhirnya dikesempunakan lagi ke dalam kurikulum baru lagi. Pendekatan Kurikulum 2006 atau KTSP mengacu pada tema secara factual dan kontekstual. Peserta didik dituntut menguasai tema-tema atau konsep yang dipelajari sesuai dengan kontekstual yang ada di lingkungan di mana mereka tinggal.

Untuk menentukan peserta didik berhasil menepuh pendidikan pada jenjang tertentu ditempuh melalui Ujian Nasional dan Ujian Sekolah dengan ditentukan jenis mata pelajaran Ujian Nasional mulai 6 mapel sampai akhirnya menjadi 4 mapel dingan adanya pengkategorian Daftar Nilai Ujian Murni dan daftar nilai seluruh mapel hasil penggabungan UN dan US untuk mapel yang masuk pada Ujian Nasional. Nilai Akhir ditentukan dengan rumus 60%UN+40%US.

Di tahun 2013 muncul lagi konsep kurikulum baru yang selalu dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan IPTEK yang diberi nama Kurikulum 13 atau sering dikatakan Kurtilas. Kalau situasi perkembangan tidak diimabngi dengan kurikulum yang mengakomodir dunia kehidupan globalisasi maka mutu dan kualitas Pendidikan para alumni tidak akan banyak berkontribusi dalam persaingan duni kerja mereka yang syarat dengan ilmu dan teknologi. Pda Kurtilas pendekatan yang dipakai adalah menekankan pendidikan karakter, pengembangan kompetensi siswa dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran lebih terintegrasi dan berpusat pada siswa, dengan penilaian yang berkelanjutan. Bahan ajar atau tujuan pembelajaran dikemas dalam bentuk kompetensi, Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dan juga ada Kompetensi Spiritual dan Kompetnsi Sosial yang dititikberatkan pada mata pelajaran PAI dan PPKN. Pendidikan karakter merupakan hal penting juga yang harus dikembangkan dan dimiliki oleh seluruh peserta didik.

Pada masa berlaku KTSP kelulusan ditentukan dengan du jenis ujian yakni Ujian Nasional masih tetap ditambah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Pada masa berlaku US dan USBN terjadi beberapa perubahan juga berdasarkan cara melakukan atau moda ujian yaitu ada yang berbasis kertas dan ada yang berbasid kompiuter. Kedunya diberlakuakn. Pengelohan nilai ujian dilakukan dengan menggunakan rumus yang ditentukan untuk menggabungkan nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional. NA= 60%UN+40%US

Setelah sekian tahun pendidikan mengacu pada kurikulum 13 atau Kurtilas, berdasarkan hasil penelitian dan uji coba di beberapa Satuan Pendidikan yang menjadi sasaran piloting, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode kedua Jokowi meminpin, kurikulum 13 dipandang perlu adanya pengembangan lagi. Tatkala masa pemerintahan Jokowi peride dua Indonesi khususnya dan dunia umumnya terjadi musibah besar-besaran dengan adanya wabah penyakit yang sangat mematikan yakni covid 19 terjadi ditengah-tengah tahun 2019. Dengan wabah tersebut menghentikan segala aktifitas kehidupan, manusia dipaksa untuk diam di rumah dengan istilah lockdown, pembatasan pergerakan manusia di seluruh dunia termasuk Indonesia. Sehingga dunia pendidikan juga terhenti, untuk mengatasi pembelajaran supaya tidak putus diberlakukan Belajar Dari Rumah. Dengan pembelajaran daring. Keadaan seperti itu berjalan kurang lebih 2 tahun. Setelah dinyatakan redak dan aman baru sekolah-sekolah dibuka lagi, siswa belajar lagi di sekolah namun masih dibatasi waktu dan materi ajar. Maka berlaku lah yang namanya kurikjulum darurat. Setelah keadan normal sperti semula pemerintah mengeluarkan kurikulum baru dengan istilah mula-mula kurikulum pemulihan kemudian berkembang menjadi Kurikulum Merdeka atas prakarsa Mendikbud pada masa kabinaet Indonesia maju yaitu Pak Nadim Makarim. Kurikulum Merdeka tidak serta merta diberlakukan di seluruh daerah dan seluruh tingkat satuan pendidikan, namun dilakukan secara uji coba dulu dibeberapa sekolah lolos seleksi Program Sekolah Penggerak untuk dijadikan piloting. Selanjutnya untuk mempersiapkan metoda teknik, dan cara mengimplementasikan kurikulum tersebt para kepala dan guru yang mengajar di sekolah yang menjadi piloting tadi,mula-mula diberi pelatihan dulu bagaiman menerpkan kurikulum merdeka. Sekolah yang dijadikan piloting dilakukan seleksi sebagai Program Sekolah Penggerak melalui kepala sekolahnya, yang lolos seleksi sekolah tersebut diharuskan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dan didampingi oleh para fasilitator yang telah dilatih sebagai Fasilitator sekolah Penggerak selama 3 tahun. Kurikulm Merdeka mulai diberlakukan di sebagian sekolah sejak tahun 2022, selain sekolah penggerak diberi opsi IKM dalam 3 pilihan yaitu IKM mandiri, IKM Berubah, dan IKM berbagi.

Kurikulum terbaru yang lebih fleksibel, berfokus pada pengembangan kompetensi dasar dan penguatan karakter. Kurikulum Merdeka menawarkan kebebasan bagi sekolah untuk memilih struktur kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Ada fokus pada projek penguatan profil Pelajar Pancasila.

Itulah sekilas kurikulum yang sudah diberlakukan di Indonesia sejak awal Kemerdekaan hingga saat sekarang 2024.

Pendapat penulis tentang kurikulum yang pernak berlaku di Indonesia semuanya baik pada masanya atau pada zamannya karena kurikulum tersebut disesuaikan dengan keaadan kehidupan manusia dan perkembangan jaman pada waktu tersebut. Perubahan bukan semata-mata ingin mengganti sistem pendidikan di Indonesia melainkan ingin mengembangkan dan menyesuaikan pendidikan Indonesia denagn kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang semakin canggih kalau kurikulum tidak menyesuaikan dengan kemajuan jaman maka pendidikan tidak akan ada kontribusi yang signifikan dalam mempersiapkan persaingan dunia global di Internasional.

Semua kurikulum yang pernah berlaku itu hasil pemikiran dan pnelitian para ahli yang kompenten di bidangnya. Termasuk sekarang yang sedang berlaku dan yang akan diberlakukan sudah ada pemikiran baru lagi yang lebih menfokuskan pada kepentingan peserta didik.

Satu hal yang sangat disayangkan, dari para pemikir-pemikir dunia pendidikan baik di masa lalu maupun di masa milinial sekarang ini belum menyentuk pada pemikiran bagaimana cara membantasi derasnya pengaruh teknologi yang masuk pada otak-otak, jiwa-jiwa insan peserta didik itu sendiri. Yang banyak dipikirkan adalah teori kurikulum yang tepat pada masa tersebut. Dengan adanya perkembangan teknologi yang tidak dibarengi dengan filter yang kuat tetap saja pendidikan tidak ada pengaruh yang signifikan dalam membentuk karakter manusia Indonesia. Para peserta didik atau calon peserta didik di masa sekarang sudah keasikan dengan permainannya sendiri dalam dunia maya atau media sosial sehingga otak-otak mereka sudah terkontaminasi pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya masuk dalam benak atau pikiran anak usia sekolah, apa lagi anak usia SD bahkan TK. Anak usia di bawah umur di masa sekaran sudah mengenal hal-hal yang belum saatnya mereka tahu, sehingga mencemari pada kepribadian dan karakter mereka. Kebanyakkan anak usi sekolah sekarang lebih asik dengan games, permainan-permainan yang dihasilkan teknologi moderna, ketertarikan mereka terhadap mainan tersebut mengalahkan semangat belajar mereka sesuai usianya. sehingga berfikir untuk belajar itu terlupakan yang ada di benaknya hanya kesengan sesuai dengan masa usia mereka. Belum terpengaruh dengan pergaulan bebas, narkoba, dan banyak lagi hal negatif lainnya.

Yang perlu dipikirkan dan dicari solusi adalah bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan terhadap hal-hal positif yang dapat meningkatkan prestasi dan karakter positif demi kehidupan mereka dimasa mendatang. Selain memikirkan kurikulum yang tepat juga tak kalah penting untuk memikirkan solusi bagaimana membatasi teknologi agar tidak secara bebas bisa masuk pada dunia pikiran anak-anak usia sekolah. Harus ada teknologi yang dapat menjaring teknologi pada anak kecil selain bimbingan dan pembinaan guru tentang karakter di sekolah serta asuhan orang tua yang ketat terhadap putra putrinya selepas jam beljar di sekolah.

Sebagus apapun Kurikulum yang disipakan oleh pemerintah, tak akan berarti kalu minat belajar peserta didik tidak ada, sekarang yang terjadi di setiap lembaga pendidikan adalah kurangnya minat untuk belajar. Apa akar masalah anak tidak mau belajar itu yang harus diantisipasi. Strategi pendidikan sekarang secara tiori sangat bagus dengan memanusiakan manusia, kerifan dan kelemhlembutan sang pendidik harus di kedepankan tidak ada lagi pendidikan dengan kekerasan membentak dan memberi sanksi yang bersifat fisik dalam arti mendidik tegas pada siswa. Sekarang menghadapi peserta didik harus lemah lembut sopan, santun, penuh riang gembira tidak boleh ada kata-kata kasar yang menyakiti peserta didik, menegur keras, apalagi sampai hukuman fisik jadi anak merasa dimanja, di nina bobo. Kalau anak yang berkarakter baik bisa tunduk, taat serta merasa nyaman sehingga pendidikan merasa benar-benar memanusiakan manusia, namun bagi anak yang berasal dari lingkungan yang bebas di tempat tinggalnya yang berkarakter peremanismi, menghadapi guru seperti menghadapi teman sebaya, bahkan ada yang lebih dari itu, bicara seenaknya kurang sopan baik ucapan kasar maupun sikap angkuhnya. Ini yang harus menjadi perhatian semua pihak, pemerintah, tokoh pendidikan, ulama, tokoh masyratakat, pendidikan, dan yang paling dekat adalah orang tuanya.

 

  1. STRATEGI UNTUK MENGHASILKAN MUTU LULUSAN YANG BAIK DAN BERKARAKTER

Untuk menghasilkan mutu lulusan yang baik dan berkarakter, dibutuhkan strategi yang menyeluruh dan berkelanjutan, baik dari sisi kurikulum, pendidik, lingkungan belajar, hingga keterlibatan masyarakat. Berikut beberapa strategi utamanya:

3.1 Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar

Memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk mengeksplorasi pembelajaran yang sesuai minat dan kebutuhan. Fokus pada pengembangan kompetensi dan karakter, bukan sekadar hafalan. Mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap mata pelajaran (profil pelajar Pancasila).

3.2 Peningkatan Kualitas Guru dan Tenaga Kependidikan

Pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik, profesional, dan karakter guru. Guru menjadi teladan dalam sikap, perilaku, dan etika bagi peserta didik. Penerapan metode pembelajaran aktif, kontekstual, dan berbasis proyek.

3.3.Pembelajaran Berbasis Nilai dan Karakter

Penanaman nilai seperti integritas, tanggung jawab, kerja sama, dan cinta tanah air dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Penguatan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler, projek sosial, dan pembiasaan sikap positif.

3.4 Kolaborasi dengan Dunia Industri dan Dunia Usaha (DUDI)

Untuk jenjang pendidikan menengah dan vokasi, penting menjalin kerja sama dengan dunia industri agar siswa siap kerja. Praktik kerja lapangan, magang, atau studi kasus nyata dapat meningkatkan relevansi kompetensi.

3.5 Penguatan Literasi dan Numerasi Dasar

Meningkatkan kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, serta literasi digital dan keuangan. Penerapan asesmen nasional berbasis literasi dan numerasi sebagai alat refleksi mutu.

3.6 Lingkungan Sekolah yang Inklusif dan Aman

Menciptakan budaya sekolah yang positif, bebas dari perundungan, diskriminasi, dan kekerasan. Menumbuhkan rasa percaya diri, empati, dan kolaborasi antarsiswa.

3.7 Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas

Mendorong peran aktif orang tua dalam proses pendidikan anak. Kolaborasi antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kuat.

 

  1. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari uraian singkat di atas bahwa kurikulum pendidikan merupakan acuan penting dalam menyelenggaraan pendidikan secara formal. Setiap masa berlakunya kurkulum mempunyai ciri dan orientasi yang berbeda-beda.

Kemudian cara dan sistem penentuan akhir kelulusan peserta didik dari suati jenjang pendidikan selalu diakhiri dengan penilaian yang lazimnya disebut ujian akhir. Ujian akhir istilahnya juga berubag-ubah mulai Ujian Akhir Sekolah (UAS), EBTANAS, Ujian Nasional (UN) Ujian Akhir Sekolah Berbasis Nasional (UASBN),Asesmen Nasional (AN) dengan bentuk ANBK dan berbasis kertas.

Dari beberapa kurikulum yang berlaku dari masa-ke masa belum ada yang efektif membentuk karakter peserta didik atau mutu lulusan yang benar-benar berakhlaq mulia. Bukti dari hal tersebut sekarang prilaku atau akhlaq manusia jauh dari perikemanusian mulai dari tawuran, geng-gengan, pelecehan seksual, narboba makin meraja lela, pelecehan nak di bawah umur, pembunuhan, begal, penipuan melalui medsos, yang paling keji anak membunuh orang tua kandung sendiri, ibu dan bapak kandung membunuh anaknya sendiri dan banyak lagi keluan bokbrok lainnya.

 

4.2 Harapan untuk Pendidikan Indonesia

Harapannya Pendidikan di Indonesia lebih berkualitas di bidang akademik non akademik dan Pendidikan karakter yang dapat membentuk manusia yang mempunyai akhlakulkarimah, berbudi luhur, punya rasa dan perasaan sebagai manusi punya kasih sayang terhadap sesama manusia.

Untuk persaingan di dunia Internasional Indonesia tidak terlalu tertinggal, hrus menghasilkan SDM yang berkualitas bersaing di dunia Internasional, sehingga terwujunya visi kita yakni Indonesia Unggul dan berdaya saing yang handal dalam dunia kerja.

Cita-cita pendidikan di Indonesia menghasilkan generasi yang unggul,kompeten dan siap bersaing di tingkat nasional maupun global:

Harapan mutu lulusan pendidikan di Indonesia mencerminkan cita-cita untuk menghasilkan generasi yang unggul, kompeten, dan siap bersaing di tingkat nasional maupun global. Berikut ini beberapa poin harapan terhadap mutu lulusan pendidikan di Indonesia:

  1. Kompetensi Global

Lulusan diharapkan memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (4C), serta mampu bersaing di dunia kerja internasional.

  1. Kecakapan Abad 21

Diharapkan lulusan menguasai teknologi digital, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan memiliki literasi informasi, literasi data, serta literasi keuangan.

  1. Karakter yang Kuat

Pendidikan karakter tetap menjadi prioritas, dengan nilai-nilai seperti integritas, kerja keras, toleransi, dan semangat kebangsaan yang tinggi.

  1. Kemandirian dan Inovasi

Lulusan diharapkan tidak hanya mencari kerja, tapi mampu menciptakan lapangan kerja melalui kewirausahaan dan inovasi.

  1. Berbasis Kebutuhan Dunia Nyata

Mutu lulusan idealnya sesuai dengan kebutuhan industri, dunia usaha, dan masyarakat—baik dari segi hard skills maupun soft skills.

  1. Berwawasan Kebhinekaan dan Lingkungan

Lulusan diharapkan menjadi warga negara yang cinta tanah air, menghargai keberagaman, serta peduli terhadap isu-isu lingkungan dan keberlanjutan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
  2. Suyanto, M., & Jihad, A. (2013). Menata Ulang Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Multi Pressindo.
  3. Majid, A. (2014). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  4. Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013: Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. Nurdin, E. S. (2015). Kebijakan dan Perencanaan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
  6. Zuhdan, K. M. (2015). Implementasi Kurikulum di Indonesia: Dari Kurikulum 1947 hingga Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 21(3), 265–277.
  7. Soedijarto. (2000). Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Grasindo.