
GARUT, Ahad, 1 Juni 2025 – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permendikdasmen) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Regulasi ini memantik respons positif dari berbagai kalangan pendidikan di daerah, termasuk dari Ketua PGRI Kabupaten Garut dan Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kabupaten Garut.
Ketua PGRI Kabupaten Garut, Dr. H. Encep Suherman, M.Pd., melalui sambungan telepon seluler menyambut baik terbitnya regulasi tersebut. Menurutnya, Permendikdasmen ini merupakan “angin segar” bagi dunia pendidikan, khususnya bagi para calon kepala sekolah.
“Setidaknya ada dua poin krusial yang menjadi energi baru dalam regulasi ini,” ujarnya.
Pertama, hilangnya dikotomi antara guru penggerak dan non-penggerak. Selama ini, syarat menjadi guru penggerak dalam proses rekrutmen calon kepala sekolah telah menciptakan kesenjangan dan suasana yang kurang harmonis di kalangan guru.
“Mereka yang bukan guru penggerak seperti kehilangan hak profesionalnya. Regulasi ini, insyaallah, akan memulihkan kondisi itu dan menumbuhkan semangat baru, terutama bagi para guru non-penggerak,” jelas Dr. Encep.
Kedua, Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 dinilai berhasil mengangkat marwah organisasi profesi guru, khususnya PGRI. Pasal 7 ayat 1 huruf (f) menyebutkan bahwa calon kepala sekolah harus memiliki pengalaman manajerial minimal dua tahun di satuan pendidikan, organisasi pendidikan, dan/atau komunitas pendidikan.
“Ini menegaskan peran penting organisasi profesi seperti PGRI dalam proses rekrutmen kepala sekolah,” tambahnya. Ia berharap regulasi ini dapat diterapkan secara objektif dan benar di lapangan.
Sementara itu, Ketua AKSI Kabupaten Garut, Dr. H. Budi Suhardiman, M.Pd., memberikan catatan penting terkait implementasi regulasi ini di wilayah Garut. Menurutnya, terdapat kekhawatiran jika Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 diterapkan secara surut, maka akan banyak kepala sekolah di Garut yang harus berhenti, khususnya yang masa jabatannya telah mencapai atau melebihi delapan tahun.
“Hal ini bisa menimbulkan kekosongan kepala sekolah secara massal,” ungkap Dr. Budi.
Ia juga mengingatkan bahwa pada tahun 2019, di masa kepemimpinan Bupati Rudy Gunawan, telah dilakukan “pemutihan” masa kerja bagi kepala sekolah yang telah menjabat lebih dari delapan tahun. Jika peraturan baru ini diberlakukan, maka kepala sekolah yang terdampak pemutihan masa jabatan tersebut akan berakhir pada 2027.
Untuk mencegah kekosongan tersebut, Dr. Budi mengusulkan agar masa kerja kepala sekolah dihitung sejak Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 diberlakukan. Ia juga menegaskan bahwa kepala sekolah yang masih menjabat sebaiknya tetap menyelesaikan masa jabatannya sesuai ketentuan lama, yakni empat periode atau enam belas tahun sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 40 Tahun 2021.
Dengan berbagai tanggapan tersebut, tampak bahwa Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 menghadirkan harapan baru sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan di tingkat daerah. Konsistensi dan kebijaksanaan dalam implementasinya akan menjadi kunci sukses keberlakuan peraturan ini. ***Jajang Sukmana