teraskandaga.com – Konsorsium Youth CSO (Civil Society Organization) Kabupaten Garut membahas Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Garut Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak (KLA).
Kegiatan melibatkan 15 generasi muda atau Generasi Z (Gen Z), diinisiasi Youth Advisory Garut binaan Yayasan Sekretariat Masyarakat Anak (SEMAK) berlangsung di Warung Kopi Gula Padi, Jl. Bank No. 11, Kelurahan Paminggir, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Sabtu (16/11/2024), dan akan berlangsung selama tiga hari berturut-turut ditempat dan waktu yang sama.
Mereka yang hadir dari Youth Advisory Garut (YAG), FKRD Mekarjaya, FAD, FPSH HAM, STHG, FPIK UNIGA, FKRD Sukamukti, serta KPI Garut. Dari 38 pasal hanya 35 pasal yang jadi pembahasannya termasuk ayat-ayatnya, dengan dibagi menjadi empat kelompok.
Direktur Eksekutif Youth Advisory Garut, Nenden Rosita, mengatakan Perda ini sudah bagus, namun realisasinya atau implementasinya belum ada. Dan dari hasil pengkajian pasal per pasal masing-masing kelompok banyak menemukan kelemahan.
Ia berjanji setelah selesai pembahasan akan menyusun rancangan untuk disodorkan kepada Pemerintah Kabupaten Garut supaya Perda ini benar-benar. Nenden percaya serta yakin pada Gen Z yang punya misi sama dengan kekuatannya, KLA dapat tercipta.
Dalam diskusi sekaligus pembahasannya, Kelompok 1 mengkaji Pasal 1-8. Pasal 1 poin 22 salah satunya, studi kasus; tidak semua sekolah di Kabupaten Garut sudah memiliki Sekolah Ramah Anak (SRA). Adapun sekolah yang sudah melaksanakan SRA ini pelaksanaannya belum maksimal. Usulan; walaupun SRA menghargai hak anak dan perlindungan anak, namun perlu diperhatikan juga terkait kebebasan-kebebasan anak terhadap anak, serta pengoptimalan keberlangsungan SRA.
Sedangkan Kelompok 2 membahas Pasal 9-18, diantaranya Pasal 11 ayat 2 (k) “Peran anak sebagai pelapor dan pelapor”. Studi kasus, anak masih kebingungan dalam mencari ruang dalam melapor, dan adakah jaminan suara anak didengar ketika melapor. Usulan; lebih kepada diadakannya wadah/tempat yang menjamin suara anak untuk didengar.
Meskipun sudah ada aturannya di DPPKBPPPA (Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), anak tetap takut untuk melaporkan karena tidak ada jaminan keamanan.
Kelompok 3 membahas Pasal 19-28 diantaranya, tertumpuknya tugas disalah satu pejabat tertentu yang kurang dipahaminya, mengakibatkan Perda ini tidak berjalan sebagai mestinya.
Selain itu, sistem birokrasi cukup sulit, semisal dalam pelayanan pembuatan akte kelahiran atau KTP disalah satu tempat cukup sulit, padahal blankonya ada.
Sementara Kelompok 4 yang membahas Pasal 29-38 terungkap, tercecernya anggaran mengakibatkan tidak fokus arah Perda ini. Selain itu, kadang korban sering jadi pelaku akibat dari tidak tuntas dalam penanganan. ***Jajang Sukmana